Opini

Suara Rakyat Bukan Suara Tuhan

Suara rakyat bukan suara Tuhan karena Tuhan tidak bisa diidentifikasi dengan siapapun dan bentuk apapun dari mahluknya.

OLEH: ANDIKA HAZRUMY *)

Idiomisasi politik ini merupakan ekspresi yang hendak menempatkan suara mayoritas sebagai kebenaran mutlak, sebagai etika kekuasaan tertinggi.

Suara mayoritas bukan kebenaran absolut tetapi kebenaran preferensial. Suatu kebenaran berdasarkan metode pilihan suara terbanyak yang bisa jadi manipulatif atau subjektif bahkan bisa pula objektif.

Kebenaran mayoritas belum tentu menjadi kebenaran mutlak karena suara minoritas juga tidak merepresentasikan kesalahan mutlak apalagi “dosa parsial”. Bisa jadi suara minoritas adalah kebenaran yang terabaikan.

Dan suara minoritas hanya menjadi simbol dari rendahnya etika untuk mengambil tampuk kekuasaan. Pada akhirnya pemilu hanya akan menempatkan dua kekuatan didalamnya, suara mayoritas dan minoritas.

Keduanya mencerminkan siapa yang menang dan berhak mendapatkan legitimasi rakyat untuk berkuasa dan siapa yang kalah dan tidak mendapatkan legitimasi untuk berkuasa.

Pada level elit politik, sudah semestinya kelompok yang tidak mendapatkan mandat rakyat menjadi oposisi mengisi peran penyeimbang kekuasaan. Tidak ada tempat lain, sebab dalam kebenaran preferensial, pihak oposisi memiliki preferensi mutlak untuk menyatakan perspektif, paradigma dan pemikiran yang berbeda dengan kekuasaan.

Sementara di sisi masyarakat, tidak perlu lagi ada dikotomi mayoritas dan minoritas. Masyarakat harus mendapatkan manfaat dari penguasa terpilih, kendati ada kelompok masyarakat yang didalamnya tidak memilih penguasa terpilih.

Penguasa terpilih tidak perlu lagi membedakan dengan argumentasi apapun terhadap kelompok masyarakat yang tidak memberikan suara kepadanya saat pemilu.

Ada empat hal prinsip utama yang mesti dipastikan pemegang mandat kekuasaan untuk diberikan kepada rakyatnya.

Pertama, terwujudnya upaya peningkatan kesejahteraan. Kedua, tegaknya upaya penegakkan hukum dan keadilan.

Ketiga, terwujudnya upaya menjamin bentuk dan kondisi keamanan buat masyarakat. Keempat, teraksesnya seluruh pelayanan publik yang diselenggarakan oleh pemerintah kepada masyarakatnya.

Kepemimpinan adalah tugas yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia agar manusia selalu menghadirkan kebaikan dan mengelola sumber daya lingkungannya untuk kesejahteraan bersama. Inilah konsep khalifah.

Di sisi lain, Tuhan juga berkata, bahwa penciptaan manusia tidak lain agar beribadah kepada Tuhan. Dengan demikian bisa dipastikan bahwa etika tertinggi dalam demokrasi adalah menempatkan legitimasi rakyat sebagai mandat kepemimpinan berdasarkan nilai-nilai keTuhanan untuk membangun kebaikan secara berkelanjutan.

Suara Tuhan tidak akan pernah merepresentasikan suara rakyat karena Tuhan bukan representasi mayoritas maupun minoritas. Tuhan hanya menjadi representasi ke Maha Besaran dan Kesempurnaan tanpa tanding.

Tuhan akan meridhoi dan menilai setiap niat dan langkah politik mayoritas maupun minoritas untuk membangun kemaslahatan bersama dalam sistem politik apapun, terutama demokrasi.

Tidak ada yang abadi kecuali Tuhan, karena itu harus dipercaya apapun akan musnah kecuali Tuhan, termasuk demokrasi.

Oleh karena itu keberlangsungan demokrasi akan sangat tergantung dari keberlanjutannya menaikkan setinggi-tingginya etika kekuasaan berdasarkan nilai-nilai kebaikan universal, sebagai simbol bahwa Tuhan ada Dimana-mana dengan universalitas keindahannya untuk saling menjaga dan melengkapi. (**)

*) ANDIKA HAZRUMY adalah akademisi sekaligus politisi muda yang pernah menjadi Wakil Gubernur Banten. Dan saat ini tengah bersiap kembali mengikuti kontestasi pada Pemilu 2024.

Iman NR

SELENGKAPNYA
Back to top button