Tausyiah

Apa Hukumnya Sholat Dhuha Dilaksanakan Setiap Hari?

Ada sebagian umat muslim yang memahami bahwa sholat dhuha tidak boleh dilakukan setiap hari dengan sandaran hadis bersumber Aisyah Ra yang diriwayatkan Muslim.

Artinya: Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Syaqiq, ia berkata: Aku bertanya kepada ‘Aisyah, “Apakah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam selalu melaksanakan shalat dhuha?”, ‘Aisyah menjawab, “Tidak, kecuali beliau baru tiba dari perjalanannya” (HR. Muslim)

Sesungguhnya hukum sholat dhuha yang dilaksanakan setiap hari itu seperti apa kedudukannya?

Dikutip dari web Muhammadiyah, jika hanya melihat hadis bersumber Aisyah Ra memang muncul pemahaman bahwa sholat dhuha sunah di pagi hari itu tidak rutin dikerjakan Rasullah SAW dan para sahabat.

Namun jika mengetahui alasannya dan melihat juga kepada hadits-hadits Nabi SAW dan atsar-atsar sahabat lainnya, maka akan diperoleh bahwa tuntunan Rasulullah dan para sahabat mengenai shalat dhuha tidak seperti pemahaman di atas.

Banyaknya jumlah hadits Nabi SAW dan atsar para sahabat mengenai sholat dhuha yang secara lahiriah berbeda satu sama lain itu menyebabkan perbedaan pendapat di kalangan para ulama.

Ibnul Qayyim di dalam kitab al-Hadyu menyebutkan enam pendapat ulama mengenai hukum pelaksanaan shalat dhuha;

Pertama: Mustahab (sunnah). Kedua: Tidak disyariatkan melainkan ada sebab, seperti pembukaan Mekkah, pembunuhan Abu Jahal, permintaan sahabat yang bernama ‘Itban agar Nabi sholat di salah satu sudut rumahnya, dan pulang dari perjalanan.

Semua sebab tersebut terjadi waktu dhuha sehingga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melakukannya.

Ketiga: Sama sekali tidak mustahab sebagaimana Abdurrahman bin Auf dan Ibnu Mas’ud tidak pernah melakukannya.

Keempat: Mustahab (sunnah) kadang-kadang dilakukan dan kadang-kadang ditinggalkan. Artinya tidak dilakukan terus-menerus. Ini adalah salah satu riwayat Ahmad.

Alasannya, hadits Abu Sa’id bahwa “Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam itu shalat dhuha sehingga kami mengatakan beliau tidak akan meninggalkannya, dan beliau itu meninggalkannya sehingga kami mengatakan beliau tidak akan melakukannya” (HR. al-Hakim).

Diriwayatkan pula dari Ikrimah: “Adalah Ibnu Abbas itu melakukan shalat dhuha sepuluh (hari) dan meninggalkannya sepuluh (hari).”

Ats-Tsauri berkata: Diriwayatkan dari Mansur: “Para sahabat tidak suka melakukannya terus-menerus seperti shalat wajib.”

Dan diriwayatkan dari Sa’id bin Jubair: “Sungguh aku meninggalkannya padahal aku menyukainya karena aku takut menganggapnya sebagai kewajiban atasku.”

Kelima: Mustahab (sunnah) dilakukan secara terus menerus di rumah. Keenam: Ia adalah bid’ah

An-Nawawi juga menyebutkan hadits-hadits yang berbeda satu sama lain dalam pelaksanaan shalat dhuha, namun beliau pada akhirnya menyatakan bahwa shalat dhuha itu menurut mayoritas ulama hukumnya sunnah muakkad.

Adapun cara mengharmoniskan dua hadits yang tampak bertentangan; yaitu yang satu menafikan dan yang satunya lagi menetapkan, terutama yang diriwayatkan oleh Aisyah ialah bahwa Nabi melakukan shalat dhuha pada sebagian waktu karena keutamaannya dan beliau meninggalkannya pada waktu lain karena takut akan difardhukan.

Sementara kata ‘Aisyah bahwa “Nabi tidak melakukannya melainkan baru tiba dari perjalanan” (hadits yang disebut dalam pertanyaan di atas) maksudnya ialah ‘Aisyah tidak pernah melihat. Padahal belum tentu jika ‘Aisyah tidak melihat, Nabi tidak melakukannya.

Sebabnya ialah Nabi jarang bersama ‘Aisyah pada waktu dhuha karena mungkin sedang dalam perjalanan, atau berada di tempat tapi beliau di masjid atau tempat lain.

Dan jika Nabi berada bersama istri-istri , maka Nabi berada di tempat ‘Aisyah hanyalah pada hari kesembilan, sehingga benarlah jika ‘Aisyah mengatakan “saya tidak pernah melihat”. Atau, perkataan ‘Aisyah: “Nabi tidak melakukannya” itu artinya tidak melakukannya terus-menerus, sehingga yang dinafikan adalah kerajinan Nabi, bukan shalat beliau.

Sementara pendapat Ibnu Umar mengenai shalat dhuha bahwa ia adalah bid’ah maksudnya adalah shalat dhuha di masjid dan memamerkannya. Atau maksudnya, yang bid’ah itu adalah terus-menerus melakukannya, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak melakukannya terus-menerus sebab beliau khawatir akan dijadikan fardhu.

Namun ini adalah untuk Nabi. Adapun untuk umat Islam, disunnahkan untuk terus-menerus melakukannya sebagaimana dalam hadits-hadits berikut:

1. Hadits riwayat Abu Hurairah:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ: أَوْصَانِى خَلِيلِى صلى الله عليه وسلم بِثَلاَثٍ: بِصِيَامِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ، وَرَكْعَتَىِ الضُّحَى، وَأَنْ أُوتِرَ قَبْلَ أَنْ أَرْقُدَ. (رواه مسلم)

“Dari Abu Hurairah (diriwayatkan bahwa) ia berkata: “Kawan karibku (Rasulullah) shallallahu ‘alaihi wasallam mewasiatiku tiga hal: Puasa tiga hari pada setiap bulan, shalat dhuha dua rakaat, dan shalat witir sebelum tidur” (HR. Muslim).

2. Hadits riwayat Abu ad-Dardak:

عَنْ أَبِى الدَّرْدَاءِ قَالَ: أَوْصَانِى حَبِيبِى صلى الله عليه وسلم بِثَلاَثٍ لَنْ أَدَعَهُنَّ مَا عِشْتُ: بِصِيَامِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ، وَصَلاَةِ الضُّحَى، وَبِأَنْ لاَ أَنَامَ حَتَّى أُوتِرَ. (رواه مسلم

“Dari Abu ad-Dardak (diriwayatkan bahwa) ia berkata: “Kekasihku (Rasulullah) shallallahu ‘alaihi wasallam mewasiatiku tiga perkara yang tidak akan aku tinggalkan selama aku masih hidup: Puasa tiga hari setiap bulan, shalat dhuha, dan aku tidak tidur sehingga shalat witir dahulu” (HR. Muslim).

3. Hadits riwayat Abu Dzar:

عَنْ أَبِى ذَرٍّ عَنِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهُ قَالَ: يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلاَمَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ، فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ، وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ، وَنَهْىٌ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ، وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنَ الضُّحَى. (رواه مسلم)

Artinya : Dari Abu Dzarr, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam (diriwayatkan bahwa) beliau bersabda: “Hendaklah setiap pagi setiap sendi salah seorang di antara kamu melakukan sedekah. Setiap tasbih itu sedekah, setiap tahmid itu sedekah, setiap tahlil itu sedekah, setiap takbir itu sedekah, amar ma’ruf itu sedekah, nahi munkar itu sedekah. Semua itu dicukupi dengan dua rakaat yang dilakukan pada waktu dhuha” (HR. Muslim).

Berdasarkan hadits-hadits di atas, disunnahkan untuk melakukan shalat dhuha semampu kita tanpa melalaikan kewajiban-kewajiban. (Rosyadi)

Editor Iman NR

Iman NR

Back to top button