Lingkungan

BMKG: Indonesia Butuh 9 Satelit Deteksi Dini Bencana

Indonesia membutuhkan sedikitnya 9 satelit untuk meningkatkan deteksi dini bencana secara akurat, tepat dan cepat.

Rencananya, kesembilan satelit yang diperuntukan operasional indera jarak jauh (Inderaja) dan akan diorbitkan pada tahun 2024.

Demikian disapaikan Muhammad Sadly, Deputi Instrumentasi Kalibrasi Rekayasa dan jaringan Komunikasi BMKG yang dikutip dari lama MediaBanten.Com, Minggu (27/3/2022) dari laman bmkg.go.id.

Katanya, Indonesia belum memiliki satelit operasional indera jarak jauh (inderaja) yang melakukan pemantauan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sangat luas.

Alasan Indonesia membutuhkan minimal 9 satelit agar tidak ada informasi peringatan dini yang terlambat disampaikan kepada otoritas terkait dan masyarakat.

“Kami memerlukan 9 buah untuk melakukan orbital dan tanpa jeda. Kalau hanya satu satelit kita butuh 100 menit jeda sehingga tidak bisa dipakai untuk peringatan dini bencana,” katanya.

Menurut dia, akan sangat sulit memantau Indonesia dengan melakukan patroli dengan pesawat terbang atau piranti terbang nirawak secara terus menerus di wilayah yang sangat luas karena akan menguras sumber daya manusia dan biaya.

“Tidak mungkin kami melakukan ‘air borne’ yang sangat mahal jatuhnya. Kami butuh satelit untuk monitoring secara berkelanjutan,” katanya,

Indonesia dinilai sudah waktunya mewujudkan pemantauan kondisi sumber daya alam dan kebencanaan di tanah air. Karena Indonesia memiliki cakupan wilayah yang sangat luas sekali.

Bencana Kompleks

Sadly mengatakan Indonesia memiliki ancaman bencana kompleks, misalnya banjir, longsor, erupsi, gempa dan tsunami.

Dalam melakukan pencegahan dan mitigasi multibencana tersebut tidak bisa ditangani dengan cara biasa, harus ada terobosan, salah satunya lewat satelit pemantauan.

Salah satu teknologi yang perlu kita akslerasi, diimplementasikan di Indonesia adalah bagaimana memiliki satelit inderaja untuk kebencanaan,” ujarnya.

Dia berharap semua stakeholders bersatu mewujudkan pemantauan kebencanaan yang akurat, cepat dan tepat.

“Kami bersinergi melakukan koordinasi dan sama-sama menyiapkan alokasi anggaran untuk digunakan secara bersama guna menanggulangi bencana-bencana yang ada di tanah air yang semakin meningkat,” katanya.

Ia mengatakan jika tidak menggunakan satelit maka deteksi dini bencana akan sangat lama. Belum lagi saat bencana terjadi terdapat potensi sejumlah infrastruktur di permukaan bumi seperti listrik dan telekomunikasi lumpuh.

Hanya dengan satelit segala kendala telekomunikasi dapat diatasi sehingga mitigasi bencana dapat dilakukan secara seksama sehingga mampu menekan munculnya korban.

Dia mengingatkan, sistem telekomunikasi elektrik akan kolaps atau mati saat bencana terjadi baik gempa bumi, tsunami, bencana hidromeeorolgi dan lainnya.

Saat bencana terjadi, tidak bisa menggunakan komunikasi berbasis handphone dan sebagainya karena kolaps apalagi terjadi gempa besar seperti di Palu, tidak ada komunikasi yang bisa dilakukan.

“Bagaimana masyarakat bisa menyelamatkan diri kalau tidak ada komunikasi andal, sehingga diperlukan satelit berbasis komunikasi yang bisa digunakan saat terjadi gempa yang sangat kuat sekali, sehingga masyarakat bisa mendapat informasi untuk menyelamatkan diri,” kata dia.

Prof Josaphat Tetuko Sri Sumantyo, ahli satelit asal Indonesia yang berkerja di Chiba University, Jepang mengingatkan, pembuatan satelit membutuhkan waktu panjang untuk mendapatkan ide dan membangun modelnya.

Kata dia, pembangunan satelit perlu membuat sensor “remote sensing”, dites di laboratorium, dilakukan uji terbang dengan pesawat, kemudian dibangun kemudian diluncurkan ke orbit bumi.

Satelit itu harus berkolaborasi dengan sensor yang dipasang di permukaan bumi untuk meningkatkan akurasi perkiraan bencana.

“Kita perlu data akurat dalam mendeteksi bencana, tidak bisa sekadar mendeteksi bencana dengan sensor optik. Dalam setahun, kita ada hari benar-benar cerah kurang dari 3 bulan. Kalau kita pakai sensor dan pakai info permukaan tanah dan distribusi tanah untuk prediksi bencana kurang akurat,” katanya.

Josaphat mengatakan, Indonesia dengan satelit yang memadai bisa memantau keadaan permukaan bumi secara waktu nyata.

“Kita bisa memantau secara realtime, kita pantau angin topan tidak mungkin terbangkan pesawat,” kata dia. (BMKG / Editor: Iman NR)

Iman NR

Back to top button