Opini

Kremasi Dalam Agama Budha

Kremasi dalam Agama Buddha Ajaran Buddha menjelaskan bahwa terbentuknya bumi merupakan suatu rangkaian yang tidak ada habisnya.

OLEH: ANGELIA ANG HWE EN, CARLONE, JESICA TOK, NAYAKA ANGELICA HENSEN, SHENNY DEZSETIA

Dalam bahasa Buddha dikatakan, terbentuknya bumi memerlukan waktu 20 kalpa. Sang Buddha menjelaskan pembentukan bumi dalam Tripitaka.

Termasuk dalam Mahaparinirwana Sutta Buddha yang menjelaskan kepada Ananda bumi yang luas ini terbentuk dari cairan. Cairan terbentuk dari udara, dan pada saat itu udara berada di angkasa.

Saat itu belum ada rasi bintang, yang ada hanya ruang gelap. Untuk mencapai pencerahan, agama Buddha menekankan pemahaman akan sifat temporal dan keterhubungan semua fenomena, dibandingkan asal usul alam semesta.

Akibatnya, agama Buddha tidak menawarkan penjelasan rinci tentang asal mula terbentuknya dunia, namun berfokus pada pemahaman tentang realitas dan jalan menuju pembebasan pribadi.

Bagi Buddha, dunia dan realitas dapat dipertukarkan dan tidak mengacu pada keberadaan di luar sana yang dibentuk oleh penafsiran. Pemahaman tentang realitas dalam agama Buddha adalah inti dari ajaran dan praktik agama Buddha.

Ajaran Buddha Gautama merupakan sebuah metode yang dapat membuat orang dapat keluar dari kondisi penderitaannya melalui pengembangan kesadaran akan realitas.

Dalam ajaran agama Buddha berupaya untuk mengatasi kesenjangan apa pun di antara pandangan seseorang tentang realitas dan keadaan yang sebenarnya.

Melihat kenyataan sebagaimana adanya merupakan prasyarat penting untuk kesehatan mental dan kesejahteraan menurut ajaran Buddha. Ajaran Buddha terus mengeksplorasi sifat dunia dan tempat kita di dalamnya.

Dalam agama Buddha, realitas eksternal dan kremasi berkaitan erat, terutama dalam konteks pemakaman dan pandangan dunia material. Salah satu konsep utama ajaran Buddha adalah konsep ketidakkekalan atau anicca.

Ajaran Buddha mendorong manusia untuk hidup sederhana, tanpa terikat pada hal-hal materi. Dalam agama Buddha terdapat kepercayaan akan adanya siklus kelahiran dan kematian yang berkesinambungan.

Hal ini adalah perilaku etis yang diungkapkan dalam praktik penguburan Buddha.

Sang Buddha adalah seorang pemuka agama terkemuka yang melihat manusia sebagai seorang individu yang mencapai segala sesuatu dengan usahanya sendiri.

Sang Buddha menganggap kedudukan manusia adalah kedudukan tertinggi dan manusia merupakan tuan bagi dirinya sendiri yang artinya manusia dapat mengatur, memutuskan, dan menjalankan kehidupannya sendiri.

Setelah kematian dalam ajaran agama Buddha adanya reinkarnasi yang melewati proses kremasi yakni proses pembakaran jasad seseorang lalu kemudian di jadikan abu.

Namun, Buddha merupakan salah satu agama yang memperbolehkan untuk melakukan kremasi.

Praktik kremasi dalam agama Buddha sudah kita kenal karena ajaran dan praktik agama ini telah dicatat dan diwariskan melalui kitab suci dan tradisi lisan selama ribuan tahun.

Kami memiliki pengetahuan tentang kremasi dalam agama Buddha dan bagaimana praktik ini diintegrasikan ke dalam ajaran dan praktik Buddha.

Dalam agama Buddha etika baik dan buruk berkaitan dengan pancasila Buddhis yang terdiri atas 5 aturan, yaitu tidak membunuh, tidak mencuri, tidak berbuat asusila, tidak berbohong, dan tidak mengonsumsi minuman keras.

Hal ini merupakan moralitas dalam agama Buddha, Sīla bukan peraturan larangan, tetapi suatu ajaran moral yang mengajarkan umat Buddha agar bertanggung jawab

penuh pada setiap perilakunya. Perilaku etika baik dan benar inilah yang akan mewarisi karma oleh orang itu sendiri, umat Buddha yakin bahwa setelah kematian/kremasi ada tumimbal lahir atau hukum kelahiran kembali.

Namun, pemahaman mengenai kremasi dianggap baik atau buruk dalam agama Buddha dapat berbeda-beda tergantung pada tradisi dan pandangan yang berbeda dalam komunitas Buddha.

Penting untuk diingat bahwa agama Buddha tidak memiliki visi universal mengenai praktik kremasi.

Sebagai agama dengan banyak sekte, terdapat perbedaan pandangan dan praktik antar komunitas Buddha yang berbeda. Selain itu, pandangan tentang kremasi dalam agama Buddha sering kali dipengaruhi oleh konteks budaya dan tradisi setempat.

Dalam agama Buddha juga harus memiliki niat dan pemahaman pribadi ditekankan. Bagi banyak komunitas Buddha, pandangan tentang kremasi sangat bergantung pada tradisi dan ajaran setempat.

Pemimpin spiritual, seperti biksu dan biksuni, dapat memberikan nasihat dan bimbingan mengenai praktik penguburan yang dianggap konsisten dengan ajaran Buddha.

Kremasi dianggap baik atau buruk dalam agama Buddha bisa sangat bervariasi dan bergantung pada konteks budaya, tradisi, dan pemahaman masing-masing individu.

Yang paling penting adalah niat dan pemahaman individu yang mendukung praktik dalam kerangka ajaran Buddha dan nilai-nilai etika. Sejarah kremasi dalam agama Buddha berakar kuat pada tradisi agama Buddha. Praktek ini telah ada sejak awal agama Buddha dan dikaitkan dengan pandangan Buddha tentang kematian, siklus kelahiran dan kematian dan ketidakkekalan.

Tujuan hidup dalam agama Buddha adalah Silena Bhogasampada yang artinya hidup bahagia, memperoleh kekayaan Dhamma, Silena Suganti Yanti yang artinya mati masuk surga dan terlahir di alam bahagia, dan Silena Nibbutim Yanti yang artinya tercapainya Nibbana.

Konsep utama ajaran Buddha adalah ketidakkekalan atau yang sering disebut dengan ketidakkekalan atau anicca, yang mengajarkan bahwa segala sesuatu dalam hidup ini bersifat sementara dan terus berubah. Dalam agama Buddha terdapat kepercayaan akan adanya siklus kelahiran dan kematian yang terus menerus yang disebut juga dengan Samsara.

Dengan membakar jenazah orang yang meninggal, agama Buddha mengajarkan bahwa jiwa akan melanjutkan perjalanan reinkarnasi atau kelahiran kembali dalam bentuk lain.

Praktik kremasi dalam agama Buddha seringkali dilakukan dalam serangkaian upacara pemakaman khusus. Meskipun praktik kremasi telah ada dalam agama Buddha sejak awal mulanya, rincian dan variasi praktik ini mungkin berbeda-beda di berbagai tradisi dan budaya Buddha.

Misalnya, beberapa tradisi Buddha lebih menyukai penguburan di tanah daripada kremasi.

Penting untuk diingat bahwa praktik kremasi dalam agama Buddha bisa berbeda-beda, dan meskipun banyak tradisi Buddha yang mengikutinya, terdapat juga perbedaan lokal dan budaya dalam penerapannya. Bagi agama Buddha, tujuan akhir hidup manusia adalah mencapai kebuddhaan atau pencerahan sejati, dimana pikiran manusia tidak perlu lagi melalui proses reinkarnasi.

Jika seseorang ingin diselamatkan, satu-satunya cara adalah mengenali sifat dan sikap Buddha di dalam dirinya. Namun, Buddha sendiri bukanlah Tuhan dan umat Buddha tidak pernah mengklaim bahwa beliau adalah Tuhan. Agama Buddha tidak menekankan peran Tuhan seperti agama besar lainnya. (**)

*) Artikel ini ditulis Angelia Ang Hwee En, Caroline, Jessica Tok, Nayaka Angelica Hensen, Shenny Dezsetia dari mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi Angkatan 2022/2023 Universitas Pelita Harapan (UPH) Tangerang.

Iman NR

SELENGKAPNYA
Back to top button