Opini

Budaya Malu

Budaya malu berakar dari rasa malu yang merupakan salah satu “logika nurani”. Sebuah “prosesor” inheren yang ada dan tertanam dalam diri setiap manusia. Ia adalah rasa yang dapat menimbang sesuatu dengan berbagai dimensi, seperti estetika, etika, benar dan salah.

OLEH: DR NANA SUPIANA *)

Menurut Hadis Riwayat Imam Muslim, malu adalah salah satu cabang keimanan ditingkatan paling rendah di antara jumlah 60 sampai 70 cabang keilmuan tentang Iman. Sementara tingkatan tertinggi adalah kalimat La ilaha illa Allah.

Sifat malu juga sebagai batas penanda manusia normal dan tidak normal untuk merespon, beradaptasi dan berinteraksi secara emosional pada setiap stimulus yang datang dalam peristiwa, kondisi dan ekspresi agar seseorang terbebas dari tudingan rasa bersalah atau tidak enak yang datang dari pribadinya sendiri.

Karena itu rasa malu sejatinya ditempatkan sebagai kesadaran untuk mengukur nurani dan kemanusiaan atas rasa adil dan tidak adil, merugikan atau tidak merugikan orang lain dan penggambaran atas martabat dan integritas diri.

Tidak tahu malu kebalikan dari sifat malu itu sendiri. Tidak tahu malu biasanya lahir dari ketidakmampuan mengukur diri dari kapasitas keilmuan, keimanan dan budaya memanusiawikan manusia dalam kadar yang paling rendah sekalipun.

Contoh, budaya titip menitip adalah budaya tidak tahu malu yang berangkat dari keinginan dan kepentingan mengangkat eksistensi diri yang khawatir akan “kalah” jika berkompetensi secara sehat.

Budaya titip menitip juga menjadi cermin arogansi diri (kegagalan nurani merespon keadilan bagi lingkungan) yang merasa dekat dengan sumber daya tertentu untuk menitipkan atau merasa bisa membayar biaya titipan, padahal perilaku ini akan mematikan potensi orang lain.

Menjelang tahun politik, 2024 mendatang, budaya malu mesti menjadi ukuran. Setiap diri yang akan bertarung untuk menjadi pemimpin harus tahu malu (tahu diri) untuk tidak hanya mengandalkan “materi” agar terpilih.

Seorang pemimpin harus malu untuk berbuat curang karena ia akan menjadi teladan bagi masyarakat.

Seberapa sadar seseorang memiliki budaya malu, bagaimana mengetahui diri memiliki budaya malu?

Sebenarnya mudah, karena ukurannya hanya bisa dirasakan oleh diri sendiri dengan menjawab seberapa tenang dan nyaman hati seseorang dengan perilaku yang telah diperbuat?

Karena rasa malu tidak bisa disembunyikan oleh diri seseorang kendati orang tersebut dapat menutupi perilakunya.

Rasa malu tidak boleh diletakkan pada tempat yang salah, misalnya rasa malu yang dipadankan atau menjadi tempat persembunyian rasa tidak percaya diri, kekurangan diri akibat rasa malas, tidak disiplin, rendah diri akibat kualitas diri yang rendah.

Dalam konteks ini maka aktualisasi diri mesti disejajarkan dengan rasa jujur menempatkan kemampuan diri pada level berpikir dan bertindak dalam lingkungannya.

Dari berbagai kasus yang dialami oleh banyak orang seringkali tertukar antara budaya malu dengan kualitas diri yang rendah dan menyebabkan seseorang menjadi malu.

Situasi ini menimbulkan keraguan, gugup, takut ditertawakan orang, gelisah dan mudah menyerah.

Seperti telah disinggung di atas, budaya malu justru akan menimbulkan situasi pengukuran nurani terhadap dimensi kepantasan seseorang dalam lingkungannya untuk mengukur rasa adil untuk diri sendiri dan orang lain. (**)

*) Penulis adalah Ketua Paguyuban Pasundan Provinsi Jawa Barat.

Iman NR

SELENGKAPNYA
Back to top button