Historia

Siapa Sebenarnya Prabu Siliwangi ?

Siapa Prabu Siliwangi itu?

Mengapa tulisan ini diawali dengan prasasti kuno lalu diikuti kropak Carita Parahiyangan?

Sri Baduga Maharaja adalah Raja Sunda yang kebesarannya sangat dihormati. Dan Kropak Carita Parahiyangan sebagai bukti, tidak ada raja yang namanya Prabu Siliwangi. Siliwangi adalah gelar dari penulis naskah bagi Sri Baduga Maharaja, bukan nama raja, seperti disebutkan dalam naskah Wangsakerta:

kawalya ta wwang sunda lawan ikang wwang carbon mwang sakweh ira wwang jawa kulwan anyebuta prabhu siliwangi raja pajajaran. dadyeka dudu ngaran swaraga nira”.

Tafsiran:

Hanya orang Sunda dan orang Cirebon serta semua orang Jawa Barat yang menyebut Prabu Siliwangi raja Pajajaran. Jadi nama itu bukan nama pribadinya.

Kata “Prabu Siliwangi” di dalam Kropak Carita Parahiyangan juga hanya disebutkan dalam lakon pantun, yaitu Kropak 630 yang ditulis tahun 1518 M, saat Sri Baduga Maharaja masih hidup.

Tentu saja dalam berpantun tidak akan disebutkan nama dan gelar asli seseorang. Apalagi itu nama seorang Maharaja.

Gelar “wangi” untuk Raja Sunda juga ditemukan dalam naskah Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara. Gelar ini diperuntukan bagi Prabu Maharaja Lingga Buana yang gugur di perang Bubat. Pasukan Linggabuana yang jumlah hanya ratusan (beberapa menyebutkan puluhan), melawan pasukan Majapahit yang dipimpin Gajah Mada yang jumlahnya ribuan.

Atas keberanian menghadapi musuh yang jumlahnya tidak sebanding itu, ia disebut Prabu Wangi alias nama Prabu Maharaja jadi mewangi (harum).

Penerus tahta Prabu Maharaja Lingga Buana alias Prabu Wangi adalah Prabu Niskala Wastu Kancana alias Prabu Wangisutah. Niskala menikahi Dewi Sarkati, putri Susuk Lampung, Sumatera Selatan. Lalu menikahi Dewi Mayangsari, putri Mangkubumi Bunisora Suradipati.

Kerajaan Sunda dibagi dua. Sebelah barat hingga sungai Citarum diserahkan kepada putra Dewi Sarkati, Sang Haliwungan dengan gelar Susuktunggal. Nama kerajaan tetap Kerajaan Sunda.

Kropak 406 Carita Parahiyangan

Inya sang susuktunggal nu munar na pakwan reujeung sanghiyang haluwesi, nu nyaeuran sanghiyang rancamaya.

Inya na nu nyieun palangka sriman sriwacana; nu mikadatwan sri bima punta narayana madura suradipati.

Kawekasan sang susuk tunggal pawwatana lemah suksi lemah hadi, mangka premana raja utama, lawasnya ratu saratus tahun.

Tafsiran:

Dialah sang Susuk Tunggal yang merenovasi Kota Pakuan, dan memperteguh dua tempat suci: Sanghiyang Haluwesi dan Sanghiyang Rancamaya.

Sang Susuk Tunggal yang membuat singgasana Sriman Sriwacana dan tinggal di keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati.

Peninggalan Sang Susuk Tunggal adalah tanah yang suci dan tanah baik, sebagai tanda keutamaan raja. Lamanya jadi ratu 100 tahun (1382-1482).

Sanghiyang Rancamaya sekarang jadi perumahan mewah Rancamaya. Keraton Sri Bima Punta Narayana sekarang jadi villa Ing Puri Bima Sakti.

Susuk Tunggal tidak memperoleh gelar Wangi. Karena ia tidak menguasai seluruh wilayah Kerajaan Sunda. Sisa wilayah Kerajaan Sunda, yaitu Kerajaan Galuh masih dikuasai ayahnya, Prabu Wangisutah atau Niskala Wastu Kancana.

Prabu Wangisutah meninggal tahun 1475 M. Tahta Kerajaan Galuh tidak diserahkan ke Susuk Tunggal, tapi ke anaknya dari Dewi Mayangsari, Sang Ningrat Kancana dengan gelar Prabu Dewa Niskala. Sama seperti Susuk Tunggal, Dewa Niskala juga tidak mendapat gelar Wangi. Dan hanya memerintah selama tujuh tahun.

Kropa 406 Carita Parahiyangan

Inya nu surup di gunatiga, lawasna ratu tujuh tahun, kena salah twah, bogoh ka esti larangan ti kaluaran.

Tafsiran:

Dia yang dipusarakan di Gunatiga. Lamanya menjadi ratu 7 tahun (1475-1482 M), Akibat salah perilaku, memperistri perempuan terlarang dari luar.

Turun tahtanya Dewa Niskala berawal dari berdirinya Kesultanan Demak yang didirikan Chen Jin Wen alias Raden Patah anak dari Siu Ban Ci binti Tan Go Hwat dengan Prabu Kertabhumi alias Brawijaya V. Tahun 1478 M, Chen Jin Wen menyerang Majapahit yang menewaskan ayahnya sendiri di Bukit Sawar.

Keluarga Kerajaan Majapahit banyak yang mengungsi, di antaranya Raden Baribin, saudara seayah Kertabhumi. Raden Baribin mengungsi ke Kerajaan Galuh.

Raden Baribin dinikahkan dengan putri Dewa Niskala, Ratna Ayu Kirana. Tentu saja ini melanggar pantangan yang timbul setelah Palagan Bubat, keluarga keraton Kawali (ibukota Galuh) dilarang berjodoh dengan keluarga keraton Majapahit.

Selain itu, Dewa Niskala juga mempersunting wanita pengungsian Majapahit yang terpisah dari tunangannya. Pantangan urang Sunda dalam purbatisti-purbajati Sunda di antaranya dilarang menikahi rara hulanjar. Yaitu perempuan yang sudah terikat pertunangan.

Susuk Tunggal, Raja Sunda sebagai kakak tiri Dewa Niskala, Raja Galuh tentu saja marah. Kemarahan menjadi konflik antar kerajaan. Kedua pasukan sudah berhadapan di Sungai Citarum. Pertempuran tidak terjadi, karena dilakukan gotrasawala (musyawarah kekeluargaan)

Hasil Gotrasawala adalah, baik Dewa Niskala dan Susuk Tunggal harus turun tahta. Pewaris tahta Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh ditunjuk Jayadewata.

Penunjukan ini bukan tanpa alasan. Jayadewata adalah anak Dewa Niskala dan menantu Susuk Tunggal. Gelar Jayadewata adalah Prabu Sri Baduga Maharaja.

Karena wilayah kekuasaan Sri Baduga Maharaja sama seperti wilayah Prabu Lingga Buana dan Wastu Kancana, maka kembali mendapatkan gelar Wangi. Kenaikan Sri Baduga bukan karena meninggalnya pemegang tahta, tapi sebagai pengganti raja akibat ketegangan Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh. Ganti atau dalam bahasa Sunda “Sili”, maka gelar Sri Baduga Maharaja adalah Prabu Siliwangi.

Walau pun naik tahtanya Sri Baduga cukup unik, tapi ini bukti di Tatar Sunda lebih diutamakan Gotrasawala alias musyarawah. Tidak main serang begitu saja.

Kinerja Sri Baduga juga sangat memuaskan. Penilaian ini bukan hanya diberikan oleh naskah Carita Parahiyang yang dibuat oleh penulis Kerajaan Sunda, tapi oleh naskah-naskah lain.

Seperti ditulis di atas (Prasasti Batu Tulis), Sri Baduga membuat kanal di pakuan, gunung-gunungan, jalan berbatu, samida dan Sanghiyang Talaga Rena Mahawijaya.

Hasil Sri Baduga juga diakui dalam naskah Pustaka Nagara Kertabhumi dalam bahasa memperkuat pertahanan ibukota, membuat jalan yang menuju ibukota, membuat telaga besar bernama Maharena Wijaya.

Selain itu, meningkatkan kegiatan agama, memberikan perdikan (desa) kepada semua pendita. Membuat kebinihajian (kaputren), kesatrian (asrama prajurit), pagelaran (formasi tempur), pamingtonan (tempat pertunjukan kesenian), mengatur pungutan pajak dan membuat undang-undang kerajaan.

Di bawah kepemimpinan Sri Baduga, Kerajaan Sunda berkembang pesat kembali. Naskah Pustak Rajyarajya i Bhumi Nusantara menyebutkan penduduk Kota Pakuan sebanyak 48.271 jiwa di tahun 1521.

Laporan Portugis tahun 1522 menyebutkan penduduk Kota Pakuan berjumlah sekitar 50 ribu jiwa. Sementara Kota Demak berpenduduk 49.187 jiwa dan Pasai 23.131 jiwa.

Tome Pires yang singgah tahun 1513 menyebutkan omzet perdagangan kuda Kerajaan Sunda mencapai 4.000 ekor per tahun. Jumlah merica mencapai 1.000 bahar (1 bahar = 3 pikul). Tammarin (asem) cukup untuk 1.000 kapal.

Istana raja dikelilingi 33 pilar sebesar tong anggur dan tingginya 5 pathom (kira-kira 9 m). Ada 40 ekor gajah perang. Dan 100.000 prajurit.

Catatan Tome Pires tentang Sri Baduga adalah Rev he gramde cacador (Raja Perkasa dan Pemburu) dan Regno De cumda Regido em Justiea (Kerajaan Sunda diperintah secara adil).

Di zaman Sri Baduga juga sudah banyak pelabuhan internasional. Ini catatan Tome Pire:

Pimeira memte o Rey de Cumda a ssua gramde cidade de dayo a pouoacam he terms I porto De bantam o porto De pomdam o porto de chegujdee o porto De tamgaram o porto De calapa o porto De Chemano ysto hee cumda por q ho Rijo De chemano he estremo Dambollos Regnos.

Tafsiran:

Pertama, raja sunda (Cumda) dengan kota besarnya Dayo, kota dan wilayah serta pelabuhan Banten (Bantam), pelabuhan Pontang (Pomdam), pelabuhan Cikande (Cheguide), pelabuhan Tangerang (Tamgaram), pelabuhan Kalapa (Calapa), pelabuhan Cimanuk (Chemano). Inilah Sunda, karena sungai Cimanuk merupakan batas di antara dua kerajaan.

Pada masa Sri Baduga inilah, para pemangku Agama Islam mulai bertingkah. Bertingkah ketika tahta Cirebon diwariskan ke Du Anbo alias Syarif Hidayatullah alias Sunan Gunung Jati dari Sang Tumenggung Sri Mangana Pangeran Cakrabuana Haji Abdullah Iman alias Pangeran Walangsungsang anak Sri Baduga Maharaja dari Subalarang.

Seperti diceritakan naskah Pustaka Parartwan i Bhumi Jawa Dwipa:

...//syariph hidayat rinatwaken to sira dumadi ratu carbon de ning uwa pangeran cakrc bhuana pinaka tumenggung tunggaling rajya carbon lawan na masyidam susuhunan jati//

Tafsiran:

Syarif Hidayat dilantik menjadi Raja Cirebon oleh uwanya Pangeran Cakrabuana sebagai Tumenggung Kerajaan Cirebon, dengan gelar Susuhunan Jati.

…//rasika dumadi ratu mahardika hanging pajajaran aisyanya ri sunda i bhumi Jawa kulwan/sakamtyan ika para kama stwing ikang sangan manungsung sukha mwang mangastungkara ring Pabhiseka n ira ika/yadyapi maka behan ira/sang pinakadi slam hanging Jawa dwipa/

Tafsiran:

Dia menjadi raja mahardika (memerdekakan diri) dari naungan Sunda Pajajaran di bumi Jawa Barat. Pada waktu itu, para wali sanga menyambut gembira, menyerukan pujian atas penobatannya, dan semua memberikan dukungan untuk meng-Islamkan (penghuni) Pulau Jawa.

Tentu saja Sri Baduga marah besar. Pasukan besarnya disiapkan. Hal ini dicegah Purohita (pendita tertinggi) keraton Ki Purwa Galih.

Dengan alasan, Syarif adalah cucunya sendiri dari Larasantang; Syarif adalah mantu Walangsungsang, anaknya; Penobatan Syarif atas keinginan Walangsungsang, anaknya sendiri. Betapa tak terpujinya Sang Kakek memerangi cucunya.

Kelemahan ini yang kemudian dimanfaatkan oleh kerajaan-kerajaan vasal lainnya di bawah naungan Kerajaan Sunda. 16 kerajaan vasal yang sudah memeluk Islam, menghentikan bukti kesetiaannya (upeti) dan berlindung ke Kerajaan Cirebon.

Walau pun dirongrong wilayahnya oleh para pemangku agama Islam, jasa besar Sri Baduga membangun Kerajaan Sunda sangat besar. Ia dikenang sepanjang masa. Sri Baduga Maharaja dengan gelar Prabu Siliwangi meninggal tahun 1521 M.

Tahta diteruskan oleh Prabu Surawisesa. Ia tidak mendapatkan gelar Wangi, karena wilayah kekuasaannya tidak lagi seperti zaman Prabu Lingga Buana. Cirebon dan 16 kerajaan vassal sudah memisahkan diri.

Prabu Surawisesa memang merebut kembali wilayah yang memisahkan diri itu. Namun hanya terhadap 16 kerajaan vassal.

Terhadap Kesultanan Cirebon, tidak direbut kembali. Karena menghormati tindakan Sri Baduga Maharaja. Syarif bagaimana pun keponakannya dari teteh tirinya, Larasantang, anak Sri Baduga Maharaja.

Keharuman nama Sri Baduga Maharaja masih dibicarakan urang Sunda hingga 12 tahun setelah kematiannya. Karenanya, Prabu Surawisesa mengadakan upacara penyempuranaan sukma. Acara ini direkam dalam Prasasti Batu Tulis Bogor, seperti tercantum di atas.

Jadi jelas sudah siapa itu Prabu Siliwangi. Jadi mana ada Siliwangi I, II, III dan seterusnya. Hanya koplak belaka.

Bahan Bacaan:

  1. Atja (1968). Tjarita Parahijangan, Bandung. Jajasan Kebudajaan Nusalarang.
  2. Atja & Danasasmita, Saleh (1981). Sanghiyang Siksakandang Karesian, Bandung. Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat.
  3. Atja & Ekadjati, Edi S (1987). Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara II, Bandung. Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi).
  4. Atja & Ekadjati, Edi S (1989). Carita Parahiyangan, Bandung. Yayasan Pembangunan Jawa Barat.
  5. Ayatrhaedi, dkk (1989). Pustaka Parartwan i Bhumi Jawadwipa II, Bandung. Yayasan Pembangunan Jawa Barat.
  6. Daldjoeni, N (1987). Geografi Kesejarahan I (Peradaban Dunia), Bandung. Alumni
  7. Daldjoeni, N (1984). Geografi Kesejarahan II (Indonesia), Bandung. Alumni.
  8. Djajadiningrat, Hoesein (1983). Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Banten. Sumbangan Bagi Pengenalan Sifat-Sifat Penulisan Sejarah Jawa, Jakarta. Djambatan.
  9. Ekadjati, Edi S (1984). Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya, Jakarta. Girimukti Pasaka.
  10. Ekadjati, Edi S (1988). Naskah Sunda, Bandung. Unversitas Padjajaran.
  11. Guivot, Claude (1990). The Sultanate of Banten, Jakarta. Gramedia.
  12. Heuken, Adolf SJ (1999). Sumber-Sumber Asli Sejarah Jakarta III, Jakarta. Yayasan Cipta Loka Caraka.
  13. Iskandar, Yoseph (2000). Negara Gheng Islam Pakungwati Cirebon, Bandung. Padepokan Sapta Rengga.
  14. Krom, NJ (1956). Zaman Hindu (terjemahan Arif Effendi), Djakarta. Pembangunan.
  15. Michrob, Halwany & Chudari AM (1993). Catatan Masa Lalu Banten, Serang. Saudara.
  16. Sutaarga, Moh Amir (1965). Prabu Siliwangi, Bandung. Duta Rakjat.
  17. Yoseph Iskandar, dkk (2001). Sejarah Banten, edisi PDF.

(Ucu Nur Arif Jauhar)

Editor Iman NR

Ucu Nur Arif Jauhar

Laman sebelumnya 1 2 3
SELENGKAPNYA
Back to top button