Peradaban Pendidikan Baru dan Ekonomi Baru
Sila kedua dalam Pancasila memilih diksi “BERADAB” (Peradaban). Kata ini dapat dipahami sebagai perangkat ide aksiologis untuk menentukan basis norma agar terbangun suatu hal yang beradab.
OLEH: TEGUH RENGGAYANA *)
Dengan aksiologi beradab terbangun manusia yang beradab, membangun infrastruktur tentu yang beradab, sampai membangun sistem ekonomi ya, yang beradab. Membangun pendidikan ya harus beradab pula.
Dalam buku Philosophisce Grondslagh (2020), beradab itu juga mengandung determinasi ide tentang proyeksi capaian negara: membawa manusia pada situasi yang beradab, bervisi perdamaian dunia.
Dari dalil konstitusi itu dapat dikembangkan gagasan bahwa membangun berarti membawa serta ide-ide keberadaban selama proses membangun.
Proses pembangunan di negeri ini harus tidak sama dengan paradigma membangun ala developmentalism yang gencar tumbuh di Eropa awal abad 19. Karena yang dibangun bukan hanya objek-objek fisik melalui agregat serba kuantitatif.
Di negeri multikultur ini tindakan membangun berarti “bergerak ke depan (moving progress) tanpa meninggalkan pijakan”, pijakan pada nilai, pada kultur, pada falsafah hidup bangsa.
Dan ada dua lini dimana tindakan “moving progress tanpa meninggalkan pijakan” menemukan realitasnya yakni: tindakan membangun pendidikan dan membangun ekonomi.
Membangun Peradaban Pendidikan Baru?
Membangun pendidikan berarti mencetak manusia, para peserta pendidikan itu pada kondisi “beradab”.
Ini sebuah pijakan, bahwa pendidikan dikemas dengan metode dan kebijakan yang baru sekalipun seperti Merdeka Belajar tidak boleh menanggalkan titik beradab.
Sementara itu, arena moving progress pendidikan harus berada pada rel teleology yang integral dengan tujuan bernegara sebagaimana termaktub dalam preambule UUD 1945.
Artinya kita menganut pendidikan yang beradab agar tercapai tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa.
etapi sungguhkan kondisi pendidikan yang dibangun oleh negara dari aneka segi, tiap rantai ekosistem pendidikan tetap berada dalam situasi yang “beradab”?
Hampir empat tahun belakangan ini, mengusung gagasan Pendidikan Merdeka, merdeka belajar, yang lebih banyak merubah teknis kurikulum dengan esensi yang tidak terlalu terkisut jauh dari kurikulum sebelumnya.
Implementasi program pendidikan yang merdeka berada pada penyerdehaan aturan kelas, metode, teknis pembelajaran.
Mahasiswa, siswa boleh ambil kelas di luar kampus, sekolah induk, siswa dapat pembelajaran mandiri. Sampai urusan akreditasi juga diserahkan pada lembaga akreditasi mandiri (LAM) berpisah dari Badan Akreditasi Nasional (BAN).
Melihat perubahan pada ekosistem pendidikan itu menyiratkan bahwa sesungguhnya kita gamang mengurus pendidikan. Sebab yang disasar sejatinya adalah administrasi publik sektor pendidikan.
Lihat, ada canangan profil pendidikan Pancasila. Secara anatomi nalar nampak loncatan kealpaan, canangan itu seperti membreakdown dari tataran “wacana” langsung ke gambar kerja para tukang.
Mengapa hal semacam itu bisa terjadi? Semestinya Pancasila dipahami lebih dahulu sebagai objek dari ideologi. Clear di tingkat ini, diturunkan lagi ke gagasan, turun lagi ke tingkat konsep, dari baru dapat dituangkan ke kertas kerja.
Nah, administrasi pendidikan sebagai salah satu administrasi sektor publilk adalah serupa kertas kerja itu. Para guru, pendidik dan birokrasi pelaksana di daerah mengubah step by step sesuai gambar kertas kerja. Banyak contoh sejenis pada bidang penilaian guru, penilaian kinerja dosen yang bersifat papper.
Artinya eksekusi atas gagasan Pendidikan Merdeka, hendak meraih moving progress “pendidikan yeng membebaskan” tetapi apa daya sampul manis ala 4.0 masih berkubang di lapis debirokratisasi pendidikan.
Jangan-jangan ternyata para pendidik tidak sedang mengusung pendidikan baru, sebuah peradaban baru dalam pendidikan.
Realitas yang dihadapi pendidik dan birokrasi pelayanan pendukung kinerja guru dan dosen adalah harus berjumpalitan menyesuaikan borang demi borang yang berubah. Form isian yang terus berubah.
Sedangkan moving progress di depan itu seabreg lho, mulai dari dilema output pengajaran daring sampai transisi habituasi pelajar dari daring kembali ke normal, itu tidak teratasi secara sistemik. Institusi pendidikan dan pendidik mengatasi problem itu secara perorangan, parsial.
Menuju Ekonomi Baru?
Pendidikan baru berarti menyiapkan program pendidikan dari satu titik teleologis ke titik berikutnya secara sistemik-sistematis. Asumsikan saja di tahun awal Mas Menteri menyiapkan debirokratisasi, lalu tahun berikutnya menyiapkan daya dukung kebaruan pendidikan.
Namun, hampir tiga tahun bergelut dengan pembelajaran daring, tetapi daya dukung pengajaran masih nebeng kok di algoritma milik youtube, googlemeet, zoom.
Konon Indonesia punya puluhan fakultas IT dan ahli IT yang canggih-canggih. Sistem akun pada pengajar perguruan tinggi dan pendidikan dasar, menengah saja bertebaran pada sejumlah akun SIKITA, SIAKAD, SPADA, BELAJAR ID dan macem-macam web dan aplikasi yang satu sama lain datanya entah nempel di mana.
Rasanya keberadaan web-web itu menandakan senarai tender, pengadaan barjas IT. Itu pun provider hostingnya entah dimana. Dan kelak bakal ada proyek sinkronisasi antar web.
Yang jelas, para pengajar, guru penyimpan NUPTK-dapodik, para siswa: mahasiswa itu adalah konsumen tetap dari teknologi cloud.
Ketika semua aktivitas kegiatan belajar mengajar di-link-kan dan digantungkan pada web-web manca, di titik itulah negeri ini kehilangan kemerdekaan pendidikan yang mandiri.
Sepenuhnya bergantung pada hosting, cloud youtube, google dan meet. Momentum pendidikan merdeka kita berada dalam kendali antah berantah, cloud.
Layaklah kita tengok jauh sebelum bangsa ini merdeka, bagaimana pendidikan yang telah lama kita menjelma sebagai embrio kemerdekaan pendidikan.
Pendidikan dengan peradaban baru yang merdeka telah diiniasi oleh pesantren-pesantren dan padepokan yang tersebar pada sendi-sendi bertumbuh lama dan link and match dalam peradaban kita dari masa ke masa yang menggeser paradigma pendidikan nomaden.
Pencari ilmu mengikuti guru yang kadang menetap sebentar lalu berpindah-pindah. Ilmu terikat pada personalitas pengajar. Kehadiran pondok pesantren dan padepokan-padepokan menempatkan guru bisa diakses oleh pencari ilmu secara lebih mudah tanpa kehilangan esensi relasi guru-murid.
Di sini ada pergesaran besar bahwa ilmu terikat pada institusi kelembagaan pengajaran, bukan lagi pada personalitas.
Memasuki 1900an, pengaruh sistem pendidikan barat ter-aborsi pada pembentukan sekolah-sekolah modern dengan esensi relasi guru-murid terikat dalam institusi lembaga pendidikan, bukan personalitas.
Pada gaung pendidikan merdeka saat ini, apa yang mengikat ilmu? Bukan institusi, bukan pula personalitas. Yup, dialah cloud dan algoritma yang mengikat ilmu pada masa kini, bersampul elegan: de-birokratisasi.
Atas nama pemerdekaan pendidikan, relasi guru-murid pada musim de-birokratisa-si menghilangkan esensi dengan menempatkan transfer materi, konten bahan ajar. Relasi yang terdegradasi oleh teknologi virtualitas itu menghilangkan dimensi ilmu.
Yang diutamakan adalah bentuk dan bangunan strukturnya: telah berlangsung pendidikan via teknologi virtual.
Dalam rasionalitas pengutamaan serba struktur itu, kita bisa melihat gejala lain: negara memindakan ibu kota yang mengunggulkan bentuk dan bangunan struktur monumental.
Ketika ibu kota negara di Borneo saat ini dengan segala dinamika respon fresh money dari pasar uang global, maka gagasan membangun struktur tentu dijajakan pada resources lainnya. karena logika yang dijajakan selama masa pandemi ini melalui habituasi pada praktik pendidikan adalah keterpukauan pada struktur dibanding esensi.
Publik mesti mahfum bahwa pendidikan terserap sampai ke bilik rumah-rumah, setiap individu mengalami proses pendidikan.
Ketika pendidikan ala merdeka belajar ini berhasil mengubah habituasi, maka secara tidak sadar memori kolektif kita juga akan tergerak ke sana: terpesona oleh struktur dibandingkan esensi.
Pendidikan yang borientasi pada bentuk dan struktur mengabsahkan pembelajaran non tatap muka yang menghilangkan relasi guru-murid dan transfer pengetahuan. Dilema pembelajaran daring telah dirasakan oleh para pengajar.
Tetapi mengatasi dilema itu juga bukan semudah menerbitkan surat edaran. Tiga tahun terhabituasi dalam skema pendidikan cloud bond, siswa cenderung praktis dengan rasa nitizen dari pada menjalani proses pendidikan yang institutional bond yang melelahkan secara fisik dan penuh interaksi.
Cukuplah berdiam dalam bilik-bilik dengan kostum santai, nyalakan zoom, meet dan itulah belajar. Kita harus waspada bahwa habituasi ini telah meruntuhkan praktik-praktik yang penuh giat fisik dan interaksi kita sebagai citizen: ekonomi-perdagangan.
Perlahan tapi pasti geliat cloud bond ini telah menggerus bermacam aktivitas perdagangan konvensional. Habituasi pendidikan menginfeksi tatanan prakik ekonomi.
Publik terpukau oleh kisah-kisah perusahaan cangkang berlebel decacorn, unicorn. Ujung dari habituasi pendidikan dan menginfeksi ke sektor ekonomi makro adalah keyakinan bahwa di depan sedang menganga suatu keadaan serba virtualized, ekonomi mengarah ke sana.
Banyak ramalan aneka profesi terancam punah akibat Internet of Things (IoT). Publik percaya dan terhenyak lantas tergopoh mencangkokan aneka virtualized programe ke dunia pendidikan lagi. Efek rebound.
Padahal pendidikan adalah kunci untuk membuka peradaban baru termasuk ekonomi baru sebagai nilai manfaat bagi bangsa ini, dan peradaban baru kita bukanlah fase serba IoT itu, tetapi kita-manusia sebagai pusat pengendali IoT yang lebih utama dari pada struktur teknologisnya.
Bangunlah esensi manusianya lebih fokus, niscaya teknologi dan ekonomi baru akan mengikuti habit MANUSIA yang BERADAB. (**)
*) Penulis Adalah: Ketua Studi-Klub Apresiasi Rangkasbitung (Skarang)