Beberapa waktu ini, daku sering berkunjung Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Provinsi Banten. Di bagian belakang gedung, terkucil ada display sederhana produk – produk UMKM Banten. Kebanyakan kuliner. Ada juga sabun, gitar dan sepatu.
Oleh: Ucu Nur Arief Jauhar *)
Eh kemasannya, ternyata sudah bagus-bagus dan keren. Kemasannya tak kalah dengan produk-produk yang dipajang di supermarket.
Produk itu tidak dijual, hanya untuk jadi pajangan agar dilihat orang. Tapi kenapa disimpen dipojokan yang tidak banyak orang lewat?
“Kalau disimpen di depan (lobi/front office, maksudnya), bakalan banyak yang hilang,” kata si pemilik ruangan.
Lalu mengobrollah kami ngalor-ngidul tentang UMKM di Banten. Soal sebagian pelaku UMKM yang tidak konsisten. Sulitnya mempertemukan UMKM dengan modal. Anggaran UMKM yang segitu-gitu aja. Program UMKM yang begitu-begitu aja, kurang terobosan.
Hingga kurang perhatiannya OPD-OPD di KP3B. Misalnya mengisi kue-kue tamu masih dari supermarket, belanja sepatu/seragam non UMKM, dan isi makan prasmanan di kegiatan yang bukan dari kuliner Banten.
Bahkan kami bicara juga soal billboard milik pemerintahan yang tidak pernah memuat produk UMKM lokal.
Sambil ngobrol, otakku tak berhenti berpikir. Jenis produknya sudah banyak. Ragamnya juga banyak. Mulai dari krupuk, coklat, sabun, kain hingga gitar. Kemasannya dah oke. Tapi kok daku ga banyak tahu. Apa karena daku kuper?
Sambil ngobrol, tanganku tak berhenti nge-WA beberapa PNS di KP3B. Kenal sabun lokal merek anu enggak? Tau krupuk merek anu enggak? Coklat merek anu enggak? Semua jawabannya sama, enggak tahu! Nah loh, PNS di KP3B aja banyak yang ga kenal. Bagaimana dengan masyarakat?
Bagaimana mengenalkan produk-produk ini ke PNS KP3B aja dulu? Enggak mungkin juga daku keliling-keliling OPD bawa produk UMKM yang dengan banyaknya. Atau bikin bakulan UMKM yang keliling KP3B?
Ah, repot. Harus nambah tenaga kerja. Sedangkan honorer saja sudah dilarang, harus P3K. Kalau dipaksakan, nanti banyak pejabat nitip orang, karena statusnya honorer. Begitu diterima, malah enggak mau bakulan. Pengen ngendon aja di dinas.
Bikin display-display di OPD? Di Disperindag aja disimpan di ruangan terkucil, takut hilang. Otak terus berpikir bagaimana caranya produk-produk ini terlihat jelas ada di KP3B.
Tetiba daku teringat Jepang. Negeri the Vending Machine. Mesin Penjual Otomatis. Di setiap sudut kota di Jepang, ada Vending Machine.
Produk dimasukan dalam Vending Machine. Terkunci aman. Tidak perlu dijaga. Pintunya terbuat dari kaca. Jadi seperti etalase toko kecil. Orang bisa melihat dengan bebas.
Ketika ingin membeli, orang tinggal memasukan uang ke Vending Machine. Memilih barang yang diinginkan. Lalu… taraaa… barang itu keluar dari Vending Machine.
Vending Machine sudah bisa menerima uang koin dan uang kertas. Bahkan ada yang bisa menghitung kembalian.
Harga Vending Machine di Indonesia kisaran Rp30-60 juta per unit. Cukup murah bagi ukuran OPD. Masih lebih mahal ngerenov sebuah toilet di DPRD Banten.
Lalu daku membayangkan, setiap lobi OPD di KP3B ada Vending Machine berisikan produk-produk UMKM. Begitu tertarik, entah itu kuliner, minuman, kain atau apa pun, tinggal masukan uang. Cling, barang keluar, produk UMKM pun laku.
Dengan Vending Machine, produk UMKM dapat didisplay di setiap lobi kantor OPD. Tanpa takut hilang.
Diperkirakan minimal ada 33 lobi alias front office alias ruang tamu di KP3B. Belum termasuk kantin dan plaza aspirasi. Berarti ada 33 titik display dan penjualan produk-produk UMKM.
Tapi kalau pengadaan UMKM Vending Machine dibebankan semuanya ke Disperindang Banten, berat juga. Butuh sekitar Rp1,65 miliaran. Lumayan besar.
Maka pengadaan Vending Machine harus dibebankan pada OPD masing-masing. Karena kan ditaruh di OPD masing-masing juga. Jadi aset OPD masing-masing juga. Hanya pengelolaan isi tetap di Disperindag Banten.
Task Force atau satuan kecil harus dibentuk Disperindag Banten. Isinya cukup 2-3 orang dilengkapi dengan motor pickup roda tiga. Tugasnya memantau, mengisi dan mengganti produk UMKM Vending Machine. Tentu merekap hasil penjualan UMKM Vending Machine juga.
Jika omzet cukup bagus, bisa dikembangkan se-Kota Serang. Di lobi SMA-SMK Negeri, Puskesmas, Rumah Sakit, Kantor Pemerintah, bank dan lainnya.
Setelah sukses di Kota Serang, Task Force ini bisa ditingkat menjadi BUMD Retailer. Tidak perlu penyertaan modal berupa uang. Cukup berupa fasilitas. Biarkan berkembang dengan omzetnya.
Sehingga bisa berkembang dengan sehat merambah kota-kota lainnya. Seperti ke Cilegon, Pandeglang, Rangkas, Tangerang, bahkan ke luar Banten.
Kalau ditambahin modal berupa uang, itu para politikus hingga tokoh masyarakat pasti ikut campur dengan kepentingan kelompoknya saja. Sudah jadi rahasia publik, modal BUMD itu jadi bancakan pejabat, politikus dan tokoh masyarakat.
Tapi… bisakah UMKM Vending Machine ini terwujud dikala ego sektoral masih tinggi dan bau kapitalisasi 2024 makin panas? BISA! Karena semua tergantung dari good will PJ Gubernur. (**)
*) Penulis adalah aktivis dan pengamat multibidang