Izzuddin Ibn As Salam Soal Orang Beruntung dan Orang Merugi
Sosok Izzudin Ibn As Salam, tokoh berpengaruh di abad ke-6 H hanya dikenal sebagai orang yang memiliki ilmu mendalam soal fikih dan ushul fikih. Sesunggunya, dia yang punya nama lengkap Izzuddin Abd al Al Aziz Ibn Abd As Salam bin Abi al Qosin bin al Hasan As Sulami itu menguasai hadis, tafsir, sastra dan ketajaman intuisi dalam olah spiritual.
Hal itu tampak jelas pada karyanya yang berjudul Akhwal An Nass wa Dzikr Al Khasirin wa Ar Rabihina (Golongan yang Merugi dan Beruntung). Ini sebuah karya yang berisi nasihat dan petuah bijak agar umat Islam mendapatkan ridha Allah SWT. Kitab yang salah satu manuskripnya ada di Darul Kutub, Mesir, itu terdiri dari 12 bahasan.
Pembahasannya diawali dengan uraian tentang siapakah golongan yang merugi dan siapakah yang dianggap berutung. Di bagian lainnya, tokoh yang juga dikenal dengan ge lar Syaikhul Islam wal Muslimin (Syekh Islam dan Umat Islam) itu membahas sejumlah topik secara global. Misalnya saja, ia menjelaskan tentang keadaan di alam barzah, sekilas perihal keindahan surga dan sekelumit mengenai kedahsyatan siksa neraka.
Izzuddin memulai pembahasan dalam kitabnya dengan mengungkapkan sebuah fakta bahwa kebanyakan umat manusia sebenarnya masuk dalam kategori merugi. Hanya sedikit saja yang beruntung. Ia berpendapat tolak ukurnya cukup sederhana. Untuk mengukur merugi atau tidaknya seseorang cukup dilakukan dengan merefleksikan secara jujur tingkah lakunya dengan Alquran dan sunah. Bila ternyata telah sesuai, maka ia beruntung. Lain halnya, kalau ia tak jujur saat proses refleksi itu.
Baca: Pemerintah Tetapkan 6 Mei 2019 Sebagai 1 Ramadhan 1440 H
Sebagaimana disebutkan dalam surah al ‘Ashr, bahwa sesungguhnya semua orang merugi kecuali mereka yang memiliki empat kriteria, yaitu iman, amal saleh, saling berwasiat kepada kebenaran, dan terakhir ialah berwasiat agar tetap bersabar. Tetapi, jarang sekali keempat sifat ini terkumpul dalam diri seseorang. Sangat nadir di zaman dengan ting kat kompleksitas hidup seperti ini.
Ada orang bergelimang maksiat, tetapi ia mengira penuh ketaatan. Ia telah jauh, tapi berpikir sangat de kat dengan-Nya. Ada yang bangga paling pintar, padahal sebenarnya ia bodoh. Banyak yang beramal, tetapi hanyalah pepesan ko song. Hanya dengan takaran syariatlah (Alquran dan sunah), kesemuanya itu bisa diukur. Dengan ukuran itu pula lah kerugian dan keberuntungan seseorang dapat dinilai dengan gamblang. “Jika beruntung, sungguh, dia adalah wali Allah,” tulisnya.
Karena itu, Izzuddin yang merupakan guru ulama terkenal, Ibnu Daqiq Al ‘Id, tersebut menegaskan, hendaknya tidak mudah percaya jika melihat manusia bisa terbang, jalan kaki di permukaan air, atau bisa melihat dunia gaib, tetapi di saat yang sama perilakunya menyimpang dari ajaran agama dengan cara melanggar perkara haram tan pa sebab yang diperbolehkan agama.
Atau, misalnya, ia meninggalkan kewajiban tanpa alasan syar’i maka ketahuilah bahwasanya orang yang demikian ialah setan berwujud manusia yang di peruntukkan Allah sebagai ujian bagi orang-orang bo doh. Layaknya Dajjal, ia bisa meng hidupkan dan mematikan makhluk.
Soal alam barzah, Izzuddin yang merupakan penulis kitab Ahkam Al Jihad tersebut mengemukakan bah wa alam barzah adalah tempat sing gah bagi semua umat manusia, baik yang beriman atau kufur. Ada empat lokasi singgah bagi anak Adam, yaitu di kandungan seorang ibu, alam dunia, alam barzah, dan terakhir akhirat yang kekal dan abadi. Kondisi dan ganjaran yang akan dialami dan diperoleh selama di barzah ditentukan oleh baik buruk amalnya selama hidup di dunia.
Tokoh yang sempat terusir lantaran resolusi jihad yang pernah ia keluarkan tersebut menggambarkan surga dengan singkat. Surga penuh dengan kebahagiaan, kenikmatan, dan bersih dari rasa sakit serta kesengsaraan. Kenikmatan dan kebahagiaan di surga kadarnya sangat jauh berbeda dari apa yang pernah dirasa di dunia.
Nikmat yang tiada bandingannya ialah ridha Allah. Bagi Muslim, kebahagiaan yang tiada tara kala di surga, ialah melihat Allah, mende ngar secara langsung kalam-Nya, dan berada dekat di sisi-Nya. Kenik matan yang tak tersentuh mata, tak pernah terdengar telinga, dan sama sekali tak terlintas di benak siapa pun. Nikmat yang kekal dan abadi, itulah surga.
Neraka? Sangat bertolak belakang dengan surga. Segala bentuk rasa sakit dan keburukan ada di sana. Rasa sakit yang tak pernah bisa dibayangkan. Kesengsaraan tiada tara karena dikucilkan dan dijauhkan akibat murka Allah. Allah berfirman, “Tinggallah dengan hina di dalamnya dan janganlah kamu berbicara dengan Aku.” (QS al-Mu’minuun [23]: 108). Neraka, nihil kenikmatan dan kebahagiaan. (Dikutip dari republika.co.id)