Harga Mati Versus Tuhan
Apakah ada yang abadi selain Tuhan? Apapun dan siapapun akan mati kecuali Tuhan. Ayolah, jangan membuat berhala baru bernama harga mati. Jangan merasa modern dan berada di puncak peradaban padahal etikanya jahiliyah.
Sunnatullah. Setiap kepemimpinan, peradaban, sistem, tatanan dan nilai ada masanya dan setiap masa ada zamannya. Setiap kejayaan akan silih berganti, sedikitnya 30 tahun paling lama 4.000 tahun.
Oleh: Ikhsan Ahmad *)
Harga mati, harganya bisa menghidupi ketika mampu berakselerasi dengan hukum moral tertinggi, yakni etika.
Awalnya adalah moral agama. Bersifat universal. Mencerminkan kesempurnaan manusia. Sebagai tuntunan etis dan berlaku sampai akhir zaman. Etika yang dimaksud adalah samanya perkataan dengan perbuatan.
Pertamakali dipraktekkan oleh manusia-manusia paling mulia, yakni Nabi dan Rasul. Diutus Tuhan sebagai pembuka peradaban, mengenalkan nilai dan etika budaya, politik, ekonomi. Tuhan tidak mengutus ideolog atau juru kampanye untuk mengenalkan etika ini.
Manusia, sebagai mahluk paling sempurna, moralitasnya dapat dibandingkan, tentunya bukan dengan monyet atau hewan lainnya. Membandingkan kesempurnaan manusia dengan hewan menyebabkan matinya harga etika.
Manusia memiliki kehendak bebas dalam kesaradan penuh untuk bermoral atau tidak, tak perlu pula dinamakan kehendak demokratis.
Malaikat memiliki loyalitas tanpa banding, tidak memiliki kehendak bebas. Iblis memiliki kemauan bebas tanpa moralitas.
Ketiadaan satunya kata dengan perbuatan, menyebabkan proses terjadinya imitasi agama menjadi ideologi.
Tampak sadar namun tidak disadari, idelogi memiliki “kitab suci”, “nabi”, “surga” dan metode menggapai surganya sendiri.
Tapi ideologi dan dunia praksisnya tidak memiliki standar etika tertinggi dan konstan. Oleh karena itu dapat dikatakan fanatisme dalam politik adalah sebuah kebodohan, militansi dalam perjuangan politik biasanya menyebabkan penyesalan.
Tulisan ini tidak hendak mengatakan partai politik dengan label agama menjadi solusi dalam mempertahankan harga mati. Karena bisa jadi penista agama justru bersarang dan banyak dilakukan di partai dengan label agama, sebab dinamika dan perilakunya bertentangan dengan moral agama.
Apalagi partai politik yang tidak mengenal nafas agama, seperti orang yang berpuasa di bulan Ramadhan kemudian bertanya dengan serius, apa bedanya lantunan adzan magrib dengan lantunan adzan dzuhur?
Ketiadaan satu kata dan perbuatan para elit politik menyebabkan harga mati menjadi jaminan percepatan kematian demokrasi dan konsensus persatuan.
Korupsi, kebohongan publik dan pengkhianatan terhadap kepentingan masyarakat menjadi jalan ibadah para pemeluk agama imitasi.
Mereka bersaksi bahwa tiada keniscayaan selain materi dan juga bersaksi bahwa demokrasi adalah karung goni. Maha benar uang dengan segala pengaruhnya. Ibadah ini menciptakan stagnasi etika berpolitik dan melahirkan konflik.
Kontestasi politik yang hanya menyisakan janji tanpa bukti atau menyisakan sedikit bukti dalam limpahan janji atau membuktikan semua janji hanya untuk syahwat kontestasi adalah suatu etika tanpa moralitas yang menjajah, menganggap etika berevolusi dari kehidupan yang tercipta secara kebetulan. (*)
*) Penulis adalah Pengamat Kebiajakan Publik dan dosen FISIP Untirta Serang.
- Rombongan Belajar Adalah Rombongan Kualitas ? - 05/06/2023
- Jual Beli Jabatan dan Sistem Beurit - 29/05/2023
- Peek a Boo, Hayo Ketahuan Jual Diri - 23/05/2023