Apakah Wajib Solat Qodo? Ini Kata KH Matin Syarkowi
Apakah wajib mengqodo solat yang tertinggal? KH Matin Syarkowi, Pimpinan Ponpes Al Fathaniyah dalam pengajian Jurnalis Mengaji menyebutkan, ada dua jenis solat qodo, yaitu qodo karena waktu solat terlewat dan qodo untuk masa lalu.
Pengajian Jurnalis Mengaji digelar setiap Senin malam di Ponpes Al Fathaniyah, Tengkele, Kelurahan Tembong, Kecamatan Cipocok Jaya, Kota Serang. Sandaran kitab pengajian ii adalah Biyadul Mujtahdi karya Ibnu Rusyd atau dikenal di Eropa dengan nama Averroes.
Dalam Kitab Biyadatul Mujtahid (perbandingan mazhab) karya Ibnu Rusyd (Averroes) mengatakan, secara umum, ulama bersepakat bahwa mengganti solat fardu yang terlewatkan, hukumnya wajib.
Kesepakatan ini ada dalam masalah solat yang tertinggal akibat ketiduran atau terlupa – semisal, karena saking sibuknya.
Dalam sebuah riwayat hadits shahih:
إِذَا نَامَ أَحَدُكُمْ عَنِ الصَّلَاةِ أَوْ نَسِيَهَا فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا
Artinya: “Jika kalian tertidur atau terlupa dari suatu shalat maka hendaknya shalat jika telah teringat/terbangun.” (HR. Abu Dawud).
Dalam riwayat hadits lain, Nabi menyebutkan bahwa amal manusia dicatat saat tiga hal ini: jika seorang anak telah balig; orang tidur telah terbangun; dan orang lupa yang teringat.
Persoalan muncul, apakah orang yang meninggalkan solat fardu dengan sengaja atau pingsan dan gangguan kesadaran lainnya juga wajib mengqodo solat?
Kondisi terlewatkan solat itu tidak secara glambang disebutkan dalam teks-teks sumber hukum Islam.
Jumhur (mayoritas) ulama, sebagaimana dicatat oleh Imam Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid, menyebutkan bahwa orang yang meninggalkan solat dengan sengaja itu “berdosa”.
Bahkan dalam pendapat mazhab lain, hukum meninggalkan solat secara sengaja itu bisa sampai berstatus kafir.
Sedangkan Mazhab Zhahiri dengan mujtahid Imam Muhammad bin Hazm menyatakan orang yang meninggalkan solat secara tidak sengaja tidak wajib mengqodo.
Mazhab Zhahiri saat ini sudah tidak eksis atau jarang digunakan. Umat muslim cenderung terbagi empat mazhab yang masyhur, yaitu Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafii dan Imam Hambali.
Imam Ibnu Hazm ini, sebagaimana cara ijtihad ulama mazhab Zhahiri lain, tidak menggunakan qiyas (analogi) dalam usaha menggali hukum.
Dengan alasan itu, tidak ditemukan dalil sharih (eksplisit) dalam teks sumber hukum Islam. Karena tidak ditetmukan, menurut Mazhab Zhahiri, qodo solat hanya dilakukan untuk orang yang tertidur atau lupa.
Sedangkan orang yang dengan sengaja meninggalkan solat tidak wajib mengqodo atau menggantikan solat tersebut.
Bagi sebagian besar umat muslim di Indonesia yang bermazhab Syafii tentu terasa aneh pendapat tersebut. Tapi ini merupakan pendapat para mujtahid atau keragaman ulama yang harus dihormati, tidak perlu dicela atau dimaki-maki.
Pendapat 4 mazhab yang masyhur, terutama Mazhab Syafii yang umum digunakan di Indonesia menggunakan dalil qiyas. Analoginya adalah jika orang lupa atau tertidur saja harus qodo (mengganti), apalagi orang yang sengaja meninggalkan solat, maka wajib qodo.
KH Mati Syarkowi mengatakan, qiyas atau analogi hukum syariat ini dikenal dengan qiyas aulawi –menganalogikan dengan hal-hal yang lebih berat atau tinggi kedudukannya.
Pelaksanaan solat qodo itu jelas berbeda dengan solat yang digantikan. Yaitu solat qodo dilakukan setelah waktu solat wajib yang terlewatkan. Catatannya, solat qodo semustinya dilakukan segera dan tidak memiliki batas waktu yang ditetapkan.
Sebagian ulama ada yang mensyaratkan tartib dalam qadha shalat. Tertib di sini maksudnya adalah melakukan sesuai urutan solat yang tertinggal, atau mendahulukannya sebelum solat fardu di waktu tersebut.
Mazhab Maliki mensyaratkan solat yang ditinggal dilakukan secara tartib. Misalnya, dalam sehari ketinggalan shalat Subuh, Zuhur dan Ashar, maka mengqodonya mesti berurutan sesuai waktunya.
Namun ulama lainnya, seperti Imam Asy-Syafi’i, tidak mewajibkan berurutan dalam pelaksanaan solat qodo ini.
Selain itu, ada perbedaan pula soal cara mengqodonya. Imam Syafii berpendapat, meski dalam perjalanan yang membolehkan untuk qashar atau jama’, solat mesti diganti sebagaimana asalnya.
Berbeda dengan Imam Malik, yang dalam hal ini qodo solat boleh menyesuaikan kondisi yang ada – maka solat boleh diqodo secara qashar atau jama’ jika syarat kebolehannya terpenuhi.
Perbedaan ini disebabkan pandangan yang berbeda seputar status solat yang ditinggalkan, apakah ia sama dengan solat yang dikerjakan secara ada’ di waktu normal sehingga bisa menyesuaikan kondisi, ataukah berstatus sebagaimana utang yang mesti dibayar serupa dengan kondisi awal ia ditinggalkan.
Persoalan lain muncul, apakah solat yang tertinggal ketika sudah baligh juga harus diqodo dan bagaimana pelaksanaanya.
KH Matin Syarkowi menukil kitab-kitab ulama Mazhab Imam Syafii yang menyebutkan juga wajid diqodo. Pelaksanaannya diserahkan kepada individu masing-masing. Misalnya, setelah solat fardu, dia langsung berdiri untuk solat qodo dalam waktu itu.
“Memang Allah tidak mengutangkan solat, tetapi status solat itu fardu (wajib). Kita yang meninggalkannya harus mengganti semampu mungkin. Dalil soal qodo solat itu jelas,” kata KH Matin Syarkowi.
Namun ada juga ulamat berpendapat utang solat masa lalu tidak perlu diqodo dengan alasan Allah tidak mengutangkan solat.
“Silakan mana yang akan dilaksanakan. Yang penting di antara muslim tidak boleh mencela, mencaci maki, membidahkan dan bahkan mengkafirkan. Sepanjang ada dalil yang sohih, itu bisa dilaksanakan,” katanya. (Editor: Iman NR)