Keuangan

Penyalagunaan Wewenang Oknum Dalam Pemungutan Pajak

Hasil penelitian Indonesian Tax Care (INTAC) dan Tifa Foundation menemukan, sistem pajak Indonesia, terutama pemungutan pajak sangat rapuh dan rentan terhadap berbagai persoalan, di antaranya penyalagunaan wewenang oknum pajak.

Kerapuhan sistem pajak Indonesia itu disebabkan dua hal, yaitu pembangunan pajak tidak mengarah pada cita-cita bangsa dan terabaikannya prinsis self assessment pajak.

Demikian dikemukakan Direktur INTAC, Basui Widodo dalam rilis yang diterima MediaBanten.Com, Jumat (11/8/2023).

Rapuhnya system pajak juga diperkuat dengan temuan INTAC, sejak tax reform 1983 sampai saat ini, pemerintah tidak pernah memilliki Grand Design pajak, sebagai cetak biru dalam pembangunan sistem pajak Indonesia.

Grand Design pajak seharusnya dibuat sebagai dasar acuan dalam memuat rancangan besar arah pembangunan system pajak bangsa.

Kondisi tersebut menjadikan pajak Indonesia tidak memiliki arah yang jelas. Tidak ada patokan dan standar yang bisa dijadikan dasar pembangunan pajak.

“Pajak secara pragmatis hanya diartikan sebatas target penerimaan,” kata Basuki Widodo.

Akhirnya penyelenggaraan dan pemungutan pajak lebih memfokuskan diri pada bagaimana mencapai target penerimaan setinggi-tingginya (maximum budget).

Mulai dari rancangan perumusan aturan, pelaksanaan pemungutan sampai pemeriksaan pajak lebih pada mengejar target penerimaan setinggi-tingginya.

Padahal pajak memiliki jangkauan dan arah cita-cita yang jauh lebih luas dari sekadar target penerimaan semata dan ini harus dirancang menjadi sebuah strategi pencapaian.

“Tentunya ini menimbulkan excess negatif. Banyak oknum memanfaatkan lemahnya sistem yang terbangun untuk kepentingan pribadi. Berbagai kepentingan masuk, mendompleng kepentingan pajak itu sendiri,” katanya.

Basuki Widodo mengatakan, para oknum mendompleng kepentingan pajak demi keuntungan pribadi. Kepentingan tersebut saling tumpang tindih antara kepentingan negara, lembaga dan kepentingan pribadi.

Kepentingan pajak dan prestasi pencapaian target penerimaan pajak, menjadi alat efektif menutupi kecurangan atau kepentingan para oknum.

Mereka menyalahgunakan wewenang dengan melakukan tekanan dan melanggar hak-hak keadilan masyarakat demi pencapaian target penerimaan.

Ini menjadikan para oknum memiliki kekuasaan absolute menekan wajib pajak. Mereka memungkinkan melakukan ancaman bahkan bisa memperlakukan wajib pajak seenaknya.

Tugas dan kepentingan negara menjadi alibi sepak terjang mereka. Ini membuka peluang terjadinya penyimpangan atau korupsi pajak.

“Tapi sebenarnya yang mendompleng kepentingan pajak bukan hanya masalah korupsi saja tapi juga masalah reputasi, prestasi, kinerja lembaga, jabatan, karir, tunjangan kinerja dan sebagainya,” ucapnya.

Berbagai kepentingan tersebut dan pencapaian prestasi target penerimaan pajak, menjadi dua hal saling melengkapi dalam menutupi kecurangan para oknum.

Katanya, Kecurangan ini “tertutupi” oleh prestasi pencapaian target penerimaan pajak. Ini menjadikan berbagai kepentingan termasuk masalah korupsi di lingkungan pajak sulit terhapuskan.

Mereka bersembunyi di balik kepentingan target pajak dan kepentingan negara. “Aturan dan Undang-undang pajak menjadi alat yang secara hukum melegalkan tindakan mereka, sekaligus tameng menutupi arogansi para oknum,” ujarnya.

Ironisnya, masyarakat minim pengetahuan pajak, bahkan cenderung tidak mengerti pajak.

“Selama ini pajak dibangun sebatas satu arah bahwa semua sudah ditetapkan sesuai aturan dan masyarakat harus membayar sesuai aturan yang ada. Bila tidak akan terkena sanksi yang berat,” katanya.

Hal tersebut menjadikan pelaksanaan pemungutan pajak rawan pelanggaraan keadilan dan hak-hak masyarakat. Sekaligus menjadikan fungsi pengawasan tidak berjalan secara maksimal dan sulit menembus.

Mereka tidak memiliki kekuatan mengungkap. Kalaupun mampu mengungkap maka akan masuk dalam “pusaran uang”.

Kondisi ini menjadikan pelanggaran ataupun penyimpangan yang terjadi di lingkungan pajak terus berjalan. Inilah penyebab menjadikan sistem pajak Indonesia tidak ada kontrol.

“Begitu pula dari sisi kebijakan pajak, masyarakat dan pengusaha menjadi fihak yang paling dirugikan karena mereka adalah obyek pencapaian target,” jelasnya.

Bila target penerimaan tercapai, penyelenggara pajak menganggap pencapaian tersebut merupakan sebuah prestasi.

Ini menjadi dasar asumsi bahwa potensi pajak masyarakat masih tinggi. Karena itu kebijakan yang diambil adalah menaikan target penerimaan pajak tahun depannya.

Sebaliknya, kata dia, bila target penerimaan tidak tercapai, dianggap sebagai kegagalan karena adanya kesalahan (kebocoran).

Ini menjadi asumsi dasar bagi para penyelenggara pajak untuk menaikan target penerimaan pajak tahun berikutnya. Tentu saja pada akhirnya masyarakat dan pengusaha menjadi pihak yang harus menanggung beban tersebut.

Kondisi inilah yang harus dicermati oleh masyarakat khususnya bagi para pengusaha, agar memperhatikan masalah pajak. Pajak bukan untuk ditakuti tapi untuk dipatuhi. (Rilis INTAC / Rosyadi)

Editor Iman NR

Iman NR

Back to top button