Ikhsan AhmadKolom

Menekan Atau Ditekan, Enak Mana?

Menekan atau ditekan, enak mana? Ha ha ha ha ha, tulisan ini tidak bermaksud membahas persoalan “orang dewasa” tetapi membahas konflik dalam perspektif “kita dan mereka.”

OLEH: IKHSAN AHMAD *)

Konflik adalah salah satu dari sifat dasar yang pasti melekat dalam setiap interaksi yang dilakukan oleh manusia.

Konflik melahirkan keseimbangan (ketenangan) baru, begitu pula dalam situasi yang tenang dan nyaman, selalu akan mengarah pada suatu potensi konflik.

Bisakah dihindari? Tentu saja bisa, tetapi tepatnya mungkin bukan menghindar tetapi bersembunyi atau lari dari masalah.

Sebaiknya tidak bersembunyi atau lari dari konflik karena konflik akan meneguhkan kita atau mereka pada komitmen yang menguatkan dan semakin kuat, apakah kita atau mereka yang akan membangun jalan dan menjalankan suatu perubahan yang diinginkan oleh suatu perubahan.

Kita atau mereka yang menabur angin? Dan apakah kita atau mereka yang akan menuai badai?

Pertanyaan ini tentu saja akan semakin pelik karena kita dan mereka akan memiliki versi kebenaran yang akan sama sama kuat dipertahankan oleh masing-masing pihak.

Oleh karena itu, konflik tanpa disadari akan menuntun dan menuntut kedewasaan dalam prosesnya sampai pada akhirnya kita dan mereka menyadari masing-masing kelemahan, kelebihan, kebenaran dan kesalahannya.

Dalam konflik sosial, pihak yang menekan biasanya memiliki relasi kekuasaan di tingkat tertentu untuk melakukan tekanan.

Pihak yang ditekan biasanya adalah pihak yang lemah dan tidak memiliki relasi kekuasaan atau pengetahuan dan pengalaman berkonflik.

Wahana meneguhkan keserasian yang dibutuhkan akibat gap yang tercipta atas dampak kekuasaan pun tidak seimbang. Setidaknya inilah stereotip yang berlaku.

Berbeda ketika yang menekan memilih partner konflik yang sepadan, kemungkinan besar, pusaran konflik turut akan mendewasakan lingkungan.

Oleh karena itu pihak yang menekan belum tentu punya korelasi positif dengan kebenaran. Pihak yang ditekan belum tentu berkorelasi positif dengan suatu kesalahan.

Catatannya, konflik tidak akan pernah menjadi proses yang konstruktif, apalagi menghasilkan perubahan ketika dilakukan oleh para penekan yang hanya mencari “ruang pamer relasi kekuasaan.”

Konflik tidak akan mendewasakan jika tekanan yang diberikan tidak substansial pada kebutuhan perubahan.

Konflik akan menjadi luka yang dalam untuk mereka dan bagi kita jika masing-masing pihak membangun komitmen berubah-ubah, menyesuaikan diri dengan selera “pasar syahwat” dengan berbagai “alibi akademik” dan memanfaatkan berbagai stigma yang menguntungkan diri sendiri.

Konlik bisa dikelola, namun bukan berarti ada penekan sejati. Konflik akan mengalir, mengarah pada suatu kebutuhan untuk memecahkan kebuntuan, membelah kejumudan dan menenggelamkan keangkuhan.

Masalahnya adalah bagaimana mengukur diri, sebagai penekan atau pihak yang ditekan, sejauh mana niat yang dihadirkan dan tujuan yang ingin diwujudkan dalam konflik yang dibangun?

Apakah ada riak keinginan mencari untung atau mengambil momentum yang dapat menguntungkan kepentingan diri sendiri? Kalau itu yang dicari, maka bersiaplah untuk menuai badai.

Jadi enak mana? Menekan atau ditekan? Tentu saja kembali pada niat, tujuan dan komitmen masing-masing untuk menghadirkan kemaslahatan. (*)

*) Penulis adalah Pengamat Kebijakan Publik dan Dosen FISIP Untirta

Ikhsan Ahmad

Back to top button