Adib: Pemilihan Proporsional Tertutup Suburkan Dinasti Politik
Adib Miftahul, Pengamat Politik dari Kajian Politik Nasional (KPN) meyakini penggunaan sistem pemilihan proporsional tertutup atau mencoblos partai dalam Pemilu 2024 akan menguatkan dan menyuburkan oligarki politik yang dikenal sebagai dinasti politik.
Alasannya, sistem itu menyebabkan partai memiliki kekuasaan penuh dalam menentukan orang yang akan menjadi anggota legislatif maupun eksekutif.
Ini juga sekaligus membuka peluang besar bagi penguasa partai mengembangkan kekuasaannya berdasarkan garis keturunan atau kekerabatan.
“Suara rakyat itu akan dikebiri di level partai. Sebab bisa jadi, pemilik suara mencoblos sebuah partai itu menginginkan calon tertentu untuk ditempatkan di lembaga legislatif maupun eksekutif, bukan karena partainya,” kata Adib Miftahul yang dihubungi MediaBanten.Com, Selasa (10/1/2023).
Soal politik uang dan biaya mahal yang menjadi alasan sistem pemilihan proporsional tertutup, kata Adib, tidak ada garansi akan lenyap saat diberlakukan sistem tersebut.
Sebaliknya, Adib mengkhawatirkan, calon yang memiliki uang banyak dan pengaruh berpotensi melakukan praktik uang dalam partai untuk menjadi calon yang diajukan partai menjadi anggota legislatif atau eksekutif.
“Siapa yang menggaransi proporsional tertutup tidak ada politik uang. Proporsional tertutup semakin melegalkan isi tas. Karena praktik yang tahu internal partai,” ujarnya.
Penentu kebijakan dalam partai justru diyakini akan mengembangkan jaringan kekuasaan yang berdasarkan keturunan, kekeluargaan atau kerabat.
“Dinasti politik subur karena orang yang dipilih belum tentu selera rakyat, karena dipilih partai. Ketika mereka bisa membawa pundi angka kepada partai dan punya pengaruh di partai, dia lah yang akan menang,” jelasnya.
Meski Adib menilai sistem pemilihan proporsional terbuka (dipilih langsung) bukan sistem yang idel, tetapi sistem ini lebih banyak memiliki keunggulan, di antaranya tidak memasung suara rakyat oleh partai.
Tebar Baligho
Sebelumnya, Adib Miftahul mengkritisi maraknya baligho, spanduk dan alat peraga kampanye (APK) Airin Rachmi Diyani yang dilabeli sebagai bagian dari dinasti politik di Banten.
Menjamurnya APK tersebut, ditengari berkaitan upaya untuk meningkatkan populeritas dan elektroral dalam konstasi Pilkada Banten tahun 2024.
“Memang, ada yg mengkritisi soal “curi start” sebelum tahapan kampanye dimulai, tetapi hanya soal etika politik saja yang kadang masih ambigu dimaknai oleh banyak aktor politik,” katanya.
Dia lebih menyoroti persan wasit Pemilu, yaitu Bawaslu yang dinilai tidak tegas. “Mereka pun tidak punya keberanian berbuat apa-apa. Analoginya begini. Setiap permainan itu ada pemain dan aturan. Dan dalam permainan itu ada wasit. Jadi wasit punya kartu untuk sebuah permainan politik ini,” katanya.
Jika Bawaslu beranggapan tidak ada unsur kampanye karena membaca aturan secara tekstual, maka perbuatan menyebarkan pesan kampanye itu tidak bisa dimaknai sebagai pelanggaran Pemilu.
“Tetapi, lain lagi kalau Bawaslu menilai dan menerjemahkan secara kontekstual aturan UU pemilu dan memaknai ini sudah pesan kampanye, tentunya Bawaslu harus memperingatkan dan memberikan punishment,” ujarnya.
Karena itu, Adib tidak bisa menyalahkan aktor politik seperti Airin atau tokoh lainnya yang menyebarkan pesan melalui berbagai media untuk meningkatkan populeritas dan elektabilitasnya. “Karena wasitnya hingga detik ini tidak menyatakan apa-apa,” katanya. (INR)
Editor: Iman NR