Mengejutkan, Airin Rachmi Diany Bukan Dinasti Politik
Mengejutkan. Pendiri Lingkar Studi Masyarakat Hukum (RUSH), Hudjolly menyatakan, Airin Rachmi Diany, bakal calon (Balon) Gubernur Banten yang diusung Partai Golkar bukan merupakan dinasti politik.
Pernyataan yang mengejutkan itu dikemukakan Hudjolly saat berbincang dalam Chanel Youtube BantenPodcast yang dikutip MediaBanten.Com, Minggu (11/12/2022). Perbincangan itu telah ditonton 2.109 penonton.
Padahal selama ini sebagian besar publik di Banten menuding Airin Rachmi Diany adalah bagian dari Dinasti Politik dengan tokoh utamanya Hasan Sochib (almarhum). Anak, mantu dan cucunya menjadi kepala daerah di Banten.
Sebut saja anak pertama Alm Prof Tb Hasan Sochib adalah Rt Atut Chosiyah yang menjadi Gubernur Banten dua periode dengan catatan tersandung kasus suap pada periode keduanya.
Adiknya Rt Atut, yakni Ratu Tatu Chasanah menjadi Bupati Serang dua periode. Cucunya, Andika Hazrumy pernah menjadi Wakil Gubernur Banten. Cucunya satu lagi, Pilar Saga menjadi Wakil Walikota Tangerang Selatan.
Sedangkan Tb Haerul Jaman pernah menjadi Walikota Serang dua periode dan kini menjadi anggota DPR RI. Anak-anak lainnya dari almarhum Prof Tb Hasan Sochib juga aktif di dunia poltik dan pengusaha.
Airin Rachmi Diany adalah istri dari Tb Chaeri Wardana atau sering disebut Haji Wawan, anak bungsu almarhum Prof Tb Hasan Sochib, pernah menjadi Walikota Tangsel dua periode dengan raihan prestasi yang membanggakan.
Sesat Berpikir
Hudjolly, Pendiri Lingkar Studi Masyarakat Hukum memberikan catatan. “Hingga sekarang, saya tidak kenal dan tidak berhubungan dengan orang-orang yang dituding dinasti politik di Banten,” katanya.
Dia mengatakan, telah terjadi falasi atau sesat berpikir dalam memaknai dinasti politik, khususnya di Banten. Dan, diksi dinasti politik itu selalu muncul saat pemilihan kepala daerah bergandengan dengan isu korupsi, gender dan sebagainya.
Dinasti politik selalu berkaitan dengan sistem monarki dengan pusatnya raja atau ratu. Artinya, ketika orang berkuasa hendak menjadikan anaknya atau keturunan dan kerabatnya berkuasa di suatu wilayah, maka tidak perlu melalui sistem pemilihan. Titahnya akan langsung menjadi hukum yang harus dilaksanakan.
“Di sini terjadi falasi berpikir ketika Pilkada dikaitkan dengan konteks dinasti politik,” kata Hudjolly.
Dinasti menunjuk pada peniadaan instrumen demokrasi. “Kalau saya berkehendak, itu harus jadi tanpa yang penting saya tempatkan,” katanya.
Sebab dalam Pilkada, ketika seseorang yang berkuasa hendak menjadikan anak, cucu, mantu atau kerabatnya menjadi kepala daerah, maka dia harus melalui sebuah pemilihan yang bersistem one man one vote.
Saat menjalani proses konstestasi anak, cucu, mantu atau kerabatnya itu harus berebut suara dengan calon lain. Dalam proses itu, mereka membutuhkan kapital, simbolik, logistik, populeritas, elektabilitas untuk meraih suara kemenangan.
“Proses konstestasi itu ditangani lembaga-lembaga yang belum tentu bisa diintervensi secara penuh oleh penguasa. Jadi prosesnya sendiri tidak manipulatif karena memiliki aturan yang disahkan negara, bukan orang yang berkuasa,” katanya.
Orang Kuat Lokal
Hudjolly justru mengkaitkan isu Dinasti Politik dengan munculnya the local strong man atau orang kuat lokal di seluruh wilayah Indonesia, termasuk di Banten.
Orang kuat lokal ini mampu memobilisasi berbagai kekuatan mulai dari kapital, masa, kekuatan dan jaringan untuk memenangkan suara agar bisa menempatkan keturunan dan kerabatnya di jabatan politik tertentu.
“Misalnya di Jawa Tengah, ada kakaknya, adiknya, anaknya menjadi kepala daerah. Semua itu melalui sebuah proses pemilihan dalam memperebutkan suara kemenangan,” katanya.
Fenomena di Banten, dia tidak melihat sebagai suatu dinasti karena ada proses konstestasi. “Percaya mana pada sebuah kekuatan keluarga atau institusi yang didirakan negara,” katanya.
Karena itu, kemunculan Airin bukan merupakan bentuk dinasti politik. Tetapi lebih pada munculnya kelompok kuat yang berpengaruh besar dalam proses konstestasi politik.
“Karena itu orang lain berpikir dua kali ketika akan muncul dan ikut dalam konstestasi dalam Pilkada. Sebab ada kelompok yang memiliki kekuatan dan pengaruh besar dalam proses pengumpulan suara tersebut,” katanya.
Hudjolly juga melihat kemunculan Airin Rahmi Diany sebagai bagian dari tokoh politik by desain dengan cara dijajakan melalui populeritas dan elektabilitas.
“Tapi tak pernah diukur, apakah benar tingkat kepercayaan itu sudah diberikan. Di situ masih ada percaya ada trah, dulu bapak anda memimpin kami. Ada kerelaan untuk diproses. Kerelaan ini melihat kapasitas sang calon,” katanya.
Hudjolly mengkritik cara-cara yang ditempuh Airin masih menggunakan cara konvensional. Terbukti maraknya baligho dan gambar-gambar yang menyebar ke pelosok wilayah di Banten.
“Mereka menempatkan publik kita sebagai masyarakat yang mudah dihipnotis dengan gambar-gambar. Asumsinya seperti itu dan ini sangat mengkhawatirkan,” katanya.
Hudjolly juga menantang agar siapapun yang maju dalam konstestasi pemilihan Gubernur Banten untuk mengubah pola, yaitu dari pola mobilisasi menjadi pola partisipatif. (BantenPodcast)
(Editor: Iman NR)