Money Politic dan Berburu di Kebun Binatang
Money politic. Namanya mentereng. Mungkin karena diingriskan, bagi sebagian calon pemilih diartikan uang politik yang harus dikeluarkan calon kontestan pemilu kepada calon pemilih.
Ketika dibahasa Indonesiakan artinya juga sumir, politik uang, belum mencerminkan arti perilaku busuk di dalamnya.
Oleh: Ikhsan Ahmad *)
Dengan “amplop” pesta demokrasi lebih meriah dan partisipasi pemilihpun lebih banyak. Para calon pemilih bertebaran mencari amplop, kaos, kerudung, sembako, dan lain sebagainya.
Pada saat itu pula, permintaan amplop, mie instan dan barang lain yang dibutuhkan calon pemilih tinggi di pasaran.
Padahal Money politic pengertiannya adalah pemberian uang suap dari kontestan pemilu kepada calon pemilih. Uang suap politik, tidak bisa dikategorikan amal, infaq, shodaqoh atau apapun yang dapat diartikan secara positif secara kolektif.
Ada tujuan didalam pemberian suap: dipilih, berkuasa dan mendapatkan kembali modal yang telah dikeluarkan. Inilah politik perut.
Jumlah uang suap yang diberikan kepada calon pemilih tidak banyak, paling tinggi 100 ribu, ada juga yang 20 ribu, tambah mie instan. 1 atau 2 hari habis digunakan. Tidak ada artinya.
Calon pemilih yang menerima uang suap merasa senang. Bodoh atau miskin? Dari sisi kontestan, tentu saja uang dikeluarkan cukup banyak untuk membiayai one man one vote, jumlahnya bisa ratusan juta hingga milyaran.
Calon kontestan yang tidak terpilih, merasa karena kehabisan uang, tidak bisa nyawer. Calon kontestan yang menyawer penuh tapi kalah, stress tinggal kolor dan hutang.
Calon kontestan yang terpilih saling tukar informasi dan kebanggaan atas sedikit dan banyaknya uang suap yang dikeluarkan, mirip percakapan para pemain kartu gaple.
Bagaimana memaknai pemimpin politik yang lahir dengan uang suap, ketika bicara pendidikan? Perubahan? Indeks Pembangunan Manusia (IPM)? Bicara moral? Bicara pemberantasan korupsi? Bicara tentang keberpihakan? Kesejahteraan? Nasionalisme? Apalagi bicara agama?
Money politic telah menjadi pilar demokrasi kelima sekaligus bencana tsunami bagi harapan dan perubahan politik ke depan.
Para pemilih yang telah memilih karena menerima uang suap kembali menjadi bodoh dan miskin, seraya berkata, “sudah terpilih mah lupa”.
Bagi kontestan terpilih, hanya punya dua konsentrasi utama, meramu otoritas dan wewenangnya menjadi tukar tambah politik dan memelihara loyalis pemilihnya dengan berbagai program.
Tentu saja, bisa jadi dalam catatan administratif dan pelaporan pengawas penyelenggara pemilu, tidak terjadi peristiwa penyuapan, hal ini disebabkan banyak faktor, seperti temuan suap yang di-86 kan karena berbagai motif, dan lain sebagainya.
Pada dasarnya mereka tidak bisa independent, mereka lahir karena negoisasi politik untuk yang berkontestasi, kendati mereka diseleksi dengan instrument uji integritas.
Bisakah uang suap politik dicegah dan dihentikan?
Bisa. Seperti berburu di kebun binatang. Fokus saja pada partai dan calon karena dari sinilah uang suap dikeluarkan dan diedarkan. Tidak perlu terlalu pintar dan berputar-putar dengan menyelenggarakan berbagai seminar, workshop, pelatihan kader anti money politic, membentuk satgas yang masuk dan mengintai masyarakat sebagai penerima suap, membuat spanduk dan baligho anti politik uang berkilo-kilo meter.
Cukup awasi gelagat calon dan partai, waktu penyebaran uang suap yang sudah pasti bisa diperkirakan, rekening dan sirkulasi uang dan tipikal calon serta partainya.
Jangan-jangan kampanye dan pembentukkan berbagai program pencegahan money politic juga merupakan politik perut yang memberikan keuntungan karena ada anggaran didalamnya.
Boleh dong curiga, karena kerja-kerja anti suap politik tidak pernah tuntas dan tidak pernah fokus pada akar persoalannya.
Berburu di kebun binatang, hewan apa yang tidak bisa terlihat? Semua terlihat. Hewan apa yang tidak bisa diburu? Semua bisa dibidik dengan mudah. Bahkan tanpa harus membuat pakta integritas anti politik uang dengan para hewan didalam kebun binatang.
Bisakah para calon pemilih memilih tanpa disuap? Bisa. Tetapi keyakinan ini direndahkan oleh peserta kontestasi dengan memelihara kebodohan dan kemiskinan kolektif. (*)
*) Penulis adalah Dosen FISIP Untirta Serang
- Rombongan Belajar Adalah Rombongan Kualitas ? - 05/06/2023
- Jual Beli Jabatan dan Sistem Beurit - 29/05/2023
- Peek a Boo, Hayo Ketahuan Jual Diri - 23/05/2023