Jual Beli Kemiskinan
Jual beli kemiskinan. Sebuah transaksi kultural. Tampak smooth dalam ekstrimitas politik Pemilu. Si miskin menjadi teman dan idola politikus.
OLEH: IKHSAN AHMAD *)
Temanya membahana. Angka statistiknya menjadi variasi dan pernak pernik untuk merebut dan memertahankan kekuasaan. Berbagai garis batas kemiskinan dengan peluang pemenangan pemilu menjadi keasyikan kampanye di tengah realitas susahnya hidup orang miskin.
Kondisi orang-orang miskin bukan hanya tampak pada kehidupan fisik yang serba kekurangan dan compang camping.
Ia pun ada di berbagai belahan dunia pemberdayaan yang tidak tuntas: UMKM, pedagang informal, guru, petani, nelayan, keberdayaan perempuan, pelajar putus sekolah, angkatan kerja yang tidak terserap dunia kerja dan bahkan ada pada kontestan dan partai politik yang kekurangan modal untuk memberdayakan dirinya di hadapan orang miskin.
Orang-orang miskin menjadi tidak menarik dibahas sebagai sebuah takdir karena garis batasnya justru “memiskinkan”.
Garis batas kemiskinan tidak pernah mau menampilkan keseimbangan pendapatan pajak rakyat untuk rakyat.
Guru menjadi ruang pamer keanggunan profesi yang dimiskinkan oleh struktur politik. Kemiskinan menjadi ruang untuk menunjukkan keperkasaan kontestasi politik.
Tanpa membopong isu orang-orang miskin, tampak politik Pemilu tidak percaya diri untuk tampil.
Jika batas garis kemiskinan hendak dijadikan petunjuk oleh negara untuk membangun keberdayaan si miskin di dalamnya, maka mengapa tidak dibuat garis batas kekayaan yang diperkenankan oleh negara, setidaknya untuk seluruh penyelenggara negara.
Sehingga tidak perlu nampak hebat dan perlente dalam mengurus negara ketika menyuarakan kepentingan masyarakat, terutama bagi pejabat negara dan elit politik.
Mie instant, beras, minyak goreng yang tak lebih dari beberapa kilogram saja dan bahan makanan lainnya, uang dalam amplop yang tak lebih dari beberapa puluh ribu seringkali menjadi tanda terimakasih kepada orang-orang miskin untuk ikut mencoblos dalam pemilu.
Sementara bisa jadi di tingkat elit pertukaran kepentingan, pembiayaan politik dan sistem ijon politik bernilai trilyunan.
Bagaimana tingginya biaya pemilu berpengaruh terhadap terpeliharanya kondisi orang-orang miskin, ada hitungannya? Bagaimana politik anggaran belanja negara dalam konteks balas budi politik pemilu membentuk kemiskinan, ada hitungannya?
Bagaimana korupsi berdampak kepada terbentuknya kondisi orang miskin, dihitungkah dalam batas garis kemiskinan? Bagaimana sistem ijon dalam pemilu berdampak kepada kemiskinan, beranikah diungkap?
Demokrasi secara mengerikan menampilkan kesengsaraan akut masyarakat miskin sebagai pemilik kedaulatan.
Frame politik kontestasi adalah berpikir untuk lima tahun. Artinya kemiskinan hanya menarik ditampilkan secara utuh lima tahun sekali.
Kemiskinan menjadi jualan, dalam angka yang dapat mendegradasi kekuasaan yang sedang manggung. Angka yang dijadikan daya pikat untuk merebut kekuasaan serta menjadi angka yang diklaim atas keberhasilan kekuasaan.
Sementara itu, mungkin sepanjang perjalanan rutinitas siapapun tak pernah luput dari pemandangan kemiskinan di perkotaan maupun di pedesaan.
Jauh di atas panggung politik, kemiskinan memang harus ada, karena ia mesti mendampingi padanannya, seperti padananan hukum alam lainnya, ada siang, ada malam, dan seterusnya.
Tetapi yang perlu diingat bahwa saat ini kemiskinan tumbuh sebagai sebuah pengukuhan stuktur politik yang korup. (*)
*) Penulis adalah Pengamat Kebijakan Publik dan Dosen FISIP Untirta.
- Rombongan Belajar Adalah Rombongan Kualitas ? - 05/06/2023
- Jual Beli Jabatan dan Sistem Beurit - 29/05/2023
- Peek a Boo, Hayo Ketahuan Jual Diri - 23/05/2023